PEMUNGKIMAN
TRANSMIGRASI
AEK NAETEK
“ Desa SONOMARTANI “ 10.600 Ha
Kec.
Kualuh Hulu , Kab Labuhan Batu Utara ,Medan, Sumatera Utara. Indonesia
1973/1974/1975
2010
Bupati
Iwan Maksum tahun 1971 dari Rapat Bupati Seluruh Indonesia untuk Lokasi
Transmigrasi 11.000 Ha, 400 Ha diberikan Transmigrasi Lokal HKPI,
Mendagri
Bapak Amir Mahmud
|
PEMUNGKIMAN
TRANSMIGRASI
AEK NAETEK
“ Desa SONOMARTANI “
10.600 Ha Kec.
Kualuh Hulu , Kab Labuhan Batu Utara ,Medan, Sumatera Utara. Indonesia 1
Project Pemerintah yang diberangkatkan pada tgl 23 Nopember 1973 setelah 3 hari
berada di Asrama Lempuyangan, Pemberangkatan diLepas Sri Sultan
Hamengkubuwuno IX ( HB IX ) dengan memecahkan Kendi berisi Air Bunga
sebagai makna Simbolis, waktu Rombongan Transmigrasi Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Berangkat memakai Kereta Api serta memberikan bekal 3/Tiga
BESEK (Makanan) untuk setiap Jiwa, rombongan terdiri dari 100 Kepala Keluarga
atau terdiri 387 Jiwa dengan didampingi Staf Petugas Lapangan Saudara
Dibyo Sumarmo dari Kanwil Tenaga Kerja Transmigrasi,- Setelah sampai di Jakarta
rombongan tinggal 1 Minggu di Transito Jakarta Utara yang Kondisinya Buruk
telah memberikan pengaruh kejiwaan pada akhir perjalanan sampai tujuan .-
Setelah itu Rombongan diberangkatkan dengan Kapal Barang
Kurnia (Dagang) pada tanggal 29 Nopember 1973 dengan waktu tempuh 4 hari 5
malam dalam perjalanan melalui laut menuju Pelabuhan Laut Belawan Medan
Propinsi Sumatera Utara, setelah merapat dan berlabuh di Belawan,
Rombongan diangkut menuju Station Kereta Api dengan Bus Budi, Bus Setia
sesampainya di Aek Kenopen diterima oleh Tripida atau Muspika istilah pada era
itu, yang akhirnya Rombongan ditempatkan di sebuah Gudang Milik Stasiun Kereta
Api Membang Muda yang berdebu tentunya tidak layak, tetapi rombongan dengan
jumlah 387 orang hanya Pasrah selama 7 hari lamanya, dengan jatah hidup
apa adanya memasak Nasi beserta Lauk pauk Ikan Asin, untuk bahan bakar memakai
Kayu Bakar milik PJKA yang pada waktu itu Lokomotif Tenaga Uap Air, yang
terpenting bagi rombongan adalah bagaimana mengisi perut agar tidak kelaparan
melanda rombongan yang berakibat jatuh sakit.-
Kemudian Rombongan Transmigrasi dipindahkan pagi hari
berjalan kaki menuju Desa Sukarame, Karena tiba sudah terlalu malam , Rombongan
ini dititipkan setiap Kepala Keluarga pada Rumah – Rumah penduduk disekitarnya,
yang sepengetahuan Penduduk Desa Sukarame Rombongan ini adalah Karyawan yang
akan membuka hutan perawan Tanah Gambut, Esoknya Rombongan dipindahkan ke
Bangunan Sekolah Dasar yang belum
dipakai untuk tempat transit, disinilah Beberapa Petugas
yang menyertai Rombongan dari Kanwil Transmigrasi DI.Yogyakarta Lansung pergi
dengan serah terima kepada petugas Transmigrasi setempat GL. Sitorus
Pagi hari berikutnya [i]Rombongan
Transmigrasi 100 Kepala Keluarga dengan 387 orang berangkat menuju Aek
Nabara berjalan kaki ujung perkampungan calon lokasi Pemungkiman Warga
Transmigrasi , setelah tahu keberadaan Lokasi yang ada, semua terhenyak juga
terkejut dengan segala duka menanggung Lelah letih dari seluruh perjalanan
tahap kesatu.- Bahwa yang di hadapi area adalah Hutan yang digenangi Air dan
Tanahnya Lahan Gambut ( Hutan Rawang) kemudian bermalam kembali, dikarenakan
Waktu Tempuh tidak mencukupi untuk melewati menuju Daerah Transmigrasi,-
Esoknya kira kira Jam 0800 pagi hari berangkat menunju
Kawasan dengan berjalan kaki diatas Kayu kayu Gelondong sebagai pijakan karena
rawan tergelincir atau terjembur, mengingat Kondisi lahan Gambut adalah
daerah Rawa yang hidup, sehingga sangat Rawan jika orang sampai
terjatuh/terbenam, dimana jarak tempuh berjalan kaki sekitar 6 jam, Akhirnya
Rombongan sampai ketempat tujuan dalam jumlah 100 Kepala Keluarga dengan
387 Jiwa, yang akhirnya harus menempati Rumah Bangunan Bedeng yang apa adanya,
Tetapi satu Kepala Keluarga setelah dihitung tidak sampai tujuan dan karena
sudah letih kepayahan akan dicari esok hari.-
yang pada akhirnya merupakan peluang dalam penjarahan kayu kayu
Hutan oleh Orang orang bersama Oknum pejabat Lintas Terkait, serta
perebutan/Perampasan Ladang/Lahan Transmigrasi guna memenuhi kebutuhan Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit di tahun tahun selanjutnya sampai sekarang dan Masih
sedang berlangsung, yang masih menghatui masyarakat akan keadaan ini
|
Kemampunan PEMDA-PEMKAB-TINGKAT KEPERCAYAAN
RENDAH DI MATA MASYARAKAT ???
|
Ancaman à Bahaya LATENT
|
Sampai
kami di Undang untuk melihat hal hal yang dianggap layak untuk
dipaparkan pada Tingkat Pusat, Harapan Penduduk Transmigrasi Sonomartani
bukan hanya sekedar perhatian dari Pemerintah Pusat, Tetapi satu Jawaban yang
Mereka minta “ Apakah Tindakan ke Adilan Perlindungan Sosial, Hukum, juga
pembangunan masih dapat sampai di sebuah Desa “ Sonomartani ” atau mereka
harus meminta menjadi Emigran ke Negara Lain seperti “ Kanada atau Amerika
(USA), dengan catatan bagi mereka tidak ada tujuan meninggakanl atau
menanggalkan warga Negaranya,sebagai Warga Negara Indonesia asli, yang
mungkim pemerintah sedang sibuk pada urusan masing-masing dalam pembelaan
diri, sebagai tanggung jawab moral Norma Etika sopan santun kaidah poltik
pemenang Pemilihan Umum 2009-1014, AH bahkan warga berhayal apa iya Pak
Susilo serta Pak Boediono mau bertandang dan bermalam disini, Atau Boleh jadi
kata Mereka meminta Gubernur DI.Yogya,Jateng dan DKI sudi berkunjung.-
|
1. Rombongan
Transmigrasi Pertama terdiri 100 Kepala Keluarga dengan jumlah 387
Jiwa, yang sampai kini disebut Trans LAMA, berasal dari Penduduk Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dari Kabupaten Gunung Kidul, Bantul,
Kulonprogo,Sleman,Bantul dan Kota Madya Yogyakarta.-
|
|
2,Rombongan Transmigrasi Kedua terdiri dari 100 Kepala
Keluarga dengan Jumlah Jiwa 400 Orang, yang sampai kini disebut Trans
BARU yang berasal dari Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah
Khusus Ibu Kota (DKI).-
|
|
3.Bekal untuk menjalankan Hidup dalam mengatasi Nafkah se
Hari-hari tidak ada pertanggungan jawab kebenarannya kepada Seluruh Rombongan
200 Kepala Keluarga yang mencangkup
|
|
4.Nama Desa SONOMARTANI DI Tetapkan Tanggal 27 Juli 1979
Oleh Bapak Cokro Sarjono Anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara,
Dengan Kepala Desa Pertama H.Untung Sumartoyo.- Dan Kepala Desa
Terakhir Prabowo.S tahun 2010
|
|
5, DATA
PENDUDUK DESA SONOMARTANI Tahun 2010
|
|
No
|
DUSUN
|
JUMLAH
|
JENIS KELAMIN
|
|
|
Kepala Keluarga
|
JIWA
|
PRIA
|
WANITA
|
ANAK2
|
Pemilih
|
|
01
|
DS 1
|
195
|
820
|
418
|
402
|
322
|
498
|
02
|
DS 2
|
186
|
640
|
333
|
307
|
195
|
445
|
03
|
DS 3
|
160
|
555
|
284
|
271
|
153
|
402
|
04
|
DS 4
|
251
|
962
|
484
|
478
|
379
|
583
|
05
|
DS 5
|
218
|
824
|
434
|
390
|
289
|
535
|
06
|
DS 6
|
215
|
835
|
433
|
402
|
295
|
540
|
07
|
DS 7
|
96
|
362
|
197
|
165
|
135
|
227
|
08
|
DS 8
|
86
|
382
|
202
|
180
|
155
|
227
|
Jumlah à
|
1407
|
5380
|
2785
|
2595
|
1923
|
3457
|
DATA MONOGRAFI DESA SONOMARTANI
|
|
|
LUAS DESA à 10.600 HECTO ARE dan BATAS WILAYAH
UTARA Berbatas dengan
Aek Ledong ( Air Hitam )
SELATAN Berbatas dengan Sungai Aek Kenopen.-
BARAT Berbatas dengan
Desa Sukarame Baru.-
TIMUR Berbatas dengan
Kualuh Hilir/Kualuh Ledong
|
|
|
PEMELUK
AGAMA / RUMAH IBADAH / SEKOLAH DAN LAIN2
|
|
HINDU
|
|
PURA
|
X
|
MADRASAH
|
1
|
BUDHA
|
|
WIHARA
|
X
|
PONPES
|
X
|
ISLAM
|
|
MESJID
|
1
|
SD
|
1
|
KATHOLIK
|
|
GEREJA
|
1
|
SMP
|
1
|
KRISTEN
|
|
GEREJA
|
1
|
PUSKEMAS
|
1
|
KEPERCAYAAN
|
Xxxx
|
LAIN2
|
|
KUD
|
1
|
BANGUNAN , JALAN,
LISTRIK,KOMUNIKASI,KAMTIBMAS
1,Kantor Kepala Desa bersama Balai
Warga
2.Kantor Pos dan Unit BRI tidak berfungsi ( Status tidak Jelas)
3.PAM (Tidak Ada) sangat
PERLU, Air Minum Tercemar
4.Kantor Swasta
Pengelola Tandan Buah Segar ( Tiga gedung}
5.Jalan Utama Rusak Berat 25 Km
dari Tanjung Pasir
6.Jalan Dusun Tanah diperkeras
(Perlu Program LOAN)
7.PLN
berfungsi Malam Hari ( Siang Warga Pakai GENSET )
8.Komunikasi via HP Provider
XL/Telkomsel
9. Radio Signal Normal dan Saluran
Televisi via Parabola
10.Perlu dibuatkan SMK
Pertanian/Perkebunan.-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Esoknya Marju Dkk dengan Rasa Sepenanggungan Sependeritaan
bersama mencari satu Keluarga yang hilang, yang akhirnya berhasil diketemukan
pada Lokasi Transmigrasi LOKAL GKPI, bersyukur memuji keteguhan kegigihan
kebersamaan untuk dapat dikembalikan kepada Rombongan Transmigrasi yang akan
menempati Lokasi di Aek Naetek.-
Yang kemudian diputuskan Tinggal di Calon Bangunan Sekolah
Dasar yang belum terpakai, yang secara physic sangat meprihatinkan, semua itu
dihadapi seluruh rombongan dengan pasrah, karena tidak ada pilihan lagi, jauh
dari angan angan yang waktu itu di Sosialisasikan kepada Calon Transmigrasi ,
bahwa di depan mata mereka adalah Tantangan pergulatan Hidup yang amat tidak
mudah untuk mengatasi Cukup Makan, tidak adanya Rumah, apalagi Lahan Pertanian
atau Ladang Garapan yang memadai untuk bercocok Tanam maupun bertani pada
waktu yang singkat,-
Semua
ini dapat dilihat dan dibaca beberapa wakil warga transmigrasi memberikan
Kenangan Tulisan tanpa perlu kami, menambah atau mengurangi. Dari pengamatan di
Lapangan sangat Kontras Sekali warna kehidupan antara Slogan Moto, Mungkin Juga
Kampanye yang telah Lewat atau akan Datang, Entah namanya Pemilu,Pilkada serta
merta Boleh Jadi kata Mereka, Kita dibiarkan Liar untuk Kuat, menjadi Lemah
karena sudah Lelah, apapun Pancasila beserta UUD^45 hanya Hapalan di Sekolah
setelah itu hanya iIlusi angin Malam pengantar TIDUR, karena Penat bekerja,-
Satu
Hari Warga memasang Jerat untuk Babi Hutan,tetapi yang terperangkap adalah
Harimau, karena tuntutan perut yang Lapar maka dipotong potong, Tetapi
berhadapan dengan Tuntutan Hukum, berkumpulah Aparat Pemerintah karena Harimau
Satwa yang dilindungi di Sumatra tinggal 249 Ekor, karena yang satu dimakan
Penduduk Trans, Lalu kapan mereka mendatanya ????.-
Bahkan
karena daerah Desa Sonomartani dan sekitarnya diliputi Aliran Sungai Besar,
Pernah terjadi Penyeludupan Pakaian Bekas asal Malaysia atau Negara Lain,
ketika Air Pasang sangat memungkinkan Kerawanan akan hal tersebut, menjadikan
Sasaran yang luput dari pengamatan Aparat Penegak Hukum,-
Melihat
Topografie, Hydrografie serta Geografis, Jika Pemerintah Jeli dapat memberikan
Draft Plan Strategi Pembangunan Terpadu, tanpa mengabaikan Nilai Dasar Kemajuan
Manusia (SDM), misal saja Membangun SMK-Perkebunan/Kehutanan/pertanian, Serta
Peningkatan Sarana Kesehatan/Jaringan Komunikasi, Pabrik Mini Kelapa Sawit (
TBS yang baik Maximal 10 Jam), serta lain hal.-
Yang
Penting mengembalikan Cadangan Lahan Desa Sonomartani, sebagai Modal Asset
Tumpuan Titik Kemakmuran yang Menjadi AMANAT Warga Desa dan Laporan ini meminta
Pemerintah Pusat Menurunkan Team Terpadu, Jalanpun Karena Pak Harmoko bersafari
tahun 1988 baru diperbaiki, Sekarang Parah Sekali,-
Riwayat
Perjalanan Transmigrasi
Pendahuluan : àRiwayat perjalanan transmigrasi ini ditulis oleh saya
sendiri.
Nama :
Siti Aminah
Umur :
20 tahun,
Pekerjaan :
Ibu rumah tangga, Agama
: Islam
Pendidikan :
SMP , Tanggal.
Lahir : 25
Oktober 1990
Alamat
: Dsn. I
Purwo Sari Desa Sonomartani Kec. Kualuh hulu, Kab. Labura (labuhan batu
bara)
Untuk menulis riwayat hidup ayah
saya yang bernama Hadi Wardoyo dari transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kab. Bantul tujuan penempatan Aex Naetek Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhan Batu.
Demikian untuk dimaklumi.
Wassalam.
Ayah saya (Hadi Wardoyo) berasal dari
anak seorang petani miskin dari Desa Malangan Dukuh (Dusun 13) Desa Srigading
Kec. Sanden Kab. Bantul DIY, berangkat dari rumah kediaman tgl 20 November 1973
berkumpul di asrama trans DIY selama 3 hari di Lempuyangan Waras di asrama
selama 3 hari, seterusnya berangkat bersama rombongan dari trans DIY 100 kepala
keluarga (KK).
Berangkat jam 7 pagi dengan
berkendaraan kereta api 1 hari pertama. Pada tgl 23 November 1973 sampai di
Jakarta sehabis magrib. Selama berada di asama Trans Jakarta selama 6 hari (29
November 1973) langsung berangkat dengan perjalanan menaiki kapal laut Kurnia
menuju Belawan selama 4 hari 5 malam dari perjalanan Belawan menuju stasiun
kereta api Aek Kenopen 1 hari lebih.
Selama di stasiun kereta Api Aek
kenopen lamanya 7 hari seterusnya perjalanan menuju penempatan dan sementara
tidur bersama regu 7 di sekolahan SD Sukarame langsung paginya berangkat menuju
penempatan aek naetek. Perjalanan di hitung selama 22 hari semalam dari
pemberangkatan sampai tujuan (Jogja – aek naetek) dan sebelum berangkat masuk
ke penempatan sementara di beri catu kilang abadi aek kanopan berarti 10 hari
lagi menginjak tahun baru 1974. Sebelum perjalanan dari Sukarame menuju trans
istirahat atau bermalam di desa aek nabara. Situasi jalan masuk masih
memprihatinkan sekali jalan aek nabara, aek naetek sepanjang ± 6 km melewati
titik-titik kayu yang terbuat dari tumbangan kayu sambung menyambung sampai ke
trans. Jika ada orang yang terpeleset jatuh maka ia akan terbenam sampai
sedalam ada karena tanahnya berupa tanah gambut sampai di tempat tujuan trans
aek naetek begitu kagetnya tidak sesuai dengan keterangan sewaktu
pemberangkatan petugas transmigrasi menerangkan bahwa nantinya udah lengkap
rumah serta ladangnya ternyata yang ada tempat penempatan trans tersebut hanya
calon-calon rumah (rangka rumah) yang jumlahnya 200 KK baru siap 21 rumah (atau
trans lama sekarang) beserta gedung-gedung SD. Akhirnya tiap-tiap 1 rumah
ditempati 3-4 keluarga, ngeri deh. Jaminan hidup jumlah dari KK trans berasal
dari Jateng dan DIY sebanyak 200 KK untuk menempati rumah yang baru siap 21
rumah. Bayangkan dan renungkan sedih kan!!!
Sambil kita menunggu dan menerima
jaminan hidup (catu trans) terpaksa bekerja dengan pemborong bangunan rumah
trans untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah saya waktu itu baru
berkeluarga (suami – istri) dengan menerima catu perbulan sebanyak 22 ½ kg.
dengan rincian kepala keluarga kepada KK 15 Kg istri 7 ½ kg anak 6 Kg catu
tersebut berupa beras, minyak makan, minyak tanah, ikan asin. Berjalan 1 tahun
warga trans yang 200 KK megadakan demo (unjuk rasa) agar jaminan hidup
dilanjutkan sampai 1 ½ tahun cerita ayah orang yang 200 KK tersebut mau unjuk
rasa ke Dirjen trans Sumatra Utara di Medan dengan diputuskan oleh petugas
trans aek naetek yang jumlahnya 200 KK tersebut diwakili 7 orang untuk
menghadap ke kantor Dirjen Transmigrasi Sumut di Medan. Ayah saya tersebut
mewakili dari regu 7 (blok 7) sampai jumpai Dirjen Sumut diputuskan kepada 7 perwakilan
orang trans tersebut untuk diberikan proyek padat karya yaitu membikin
paret-paret pengeringan di lokasi trans tersebut dan menerima 1 bulan 10 Kg
beras ditambah dengan bibit-bibit pertanian seperti : ubi, jagung dsb untuk
mencukupi meringankan kebutuhan per hari karna putus jaminan hidup (catu
terpaksa ayah merantau di luar trans, berarti orang trans janda semua karena
ditinggal suami untuk mencukupi kebutuhan hidup kadang-kadang pulang merantau
tidak dapat hasil karena situasi pekerjaan dan harga belanjaan padahal di rumah
ibu saya (waktu itu saya belum lahir) udah nunggu dari hasil kerja merantau
bapak begitulah pedihnya kisah nyata yang dialami oleh ayah saya terpaksa ubu
saya mengutang di warung-warung yang ada.
Menginjak tahun 1977 tanah perladangan
baru dibagikan masih berupa hutan belantara (hutan rimba) terpaksa kerja sama
gotong-royong sama teman-teman untuk mengimas tumbang pembagian masing-masing
secara bergiliran. Untuk menerima giliran gotong-royong orang trans masih tetap
banyak yang merantau menginjak tahun 1979 serah terima Dirjen transmigrasi
Sumut kepada pemda Kab. Labuhan Batu.
Menginjak tahun 1980 baru diadakan
pemetaan persawahan dalam waktu tahun 1980 itu juga ayah saya ditunjuk ketua
kelompok dalam rangka pembinaan pertanian yang anggota kelompok berjumlah 20
kelompok barulah tahun 1980 ayah saya bisa menikmati fasilitas trans melalui
kelompok sebanyak 18 orang yang mendapat nilai prestasi perlombaan pertanian
tersebut dipualngka ke Jawa pulang pergi dengan pesawat terbang tujuan daerah
masing-masing.
Pada saat tahun 1978 ditunjuk
penataran KB di kota Padang Sumatra Barat selama 5 hari dengan perjalanan
pulang pergi dengan pesawat terbang! Tahun 1980 baru pertama kali ayah saya
menengok tempat kelahiran ayah di Jogja tanpa diikuti istri. Perjuangan ayah
saya mulai dari kepala RT tahun 1974 sampai 2006 sekretaris desa. Pahit getir
perjuangan sewaktu menjadi Sekdes jarak kerumah kantor desa sejauh 500 m dengan
berjalan kaki! Berarti selama tugas berjalan kaki sehari 1000 m x 3 tahun.
Tugas bapak setahun berjalan kaki
selama 312 km 3 tahun selama 936 km betapa pahitnya perjuangan bapak saya
selama tugas bapak di sekretaris desa menerima sekedar honorarium perbulan Rp.
250.000,- untuk membeli rokok saja tidak cukup, untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sampai sekarang ibu saya menderes karet di persawahan yang jaraknya
lumyan cukup jauh. Itupun kadang kurang mencukupi. Untuk mengusahai tanah hak
milik 1 ¼ hektar yang ada di persawahan 7 hektar ditambah pekarangan ¼ hektar.
Sebelum selesai tugas di sekretaris
desa terkena menderita penyakit selama 1 ½ bulan. Kebijaksanaan Kades walaupun
keadaan sakit namun honorarium masih tetap berjalan. Akhirnya da kesempatan
sekretaris desa untuk menjadi pengganti negeri atau di PNS kan namun bapak gagal
karena tidak memenuhi persyaratan dan akhirnya sekarang diganti sekretaris yang
baru.
Kata Kades ayah saya mau dikasih
imbalan jasa tetapi nyatanya NIHIL (kosong). Begitulah kisah pahitnya
perjalanan ayah saya dalam mengabdi kepada pemerintah dan bangsa. Terakhir yang
paling pahit penderitaan ayah saya hak milik bapak yang mempunyai lahan tanah
seluas 8 hektar dikusai oleh PT. Nagari Semangat Jaya. Mengenai sengketa
tersebut sedang diproses di Polres Labuhan Batu Sumut. Dan saat ini belum ada
kesimpulan keberhasilannya.
Demikian tulisan saya.
Sonomartani 8-8-2010
Dari saya,
Siti Aminah
SEJARAH KEHIDUPAN SAYA DALAM
MENGIKUTI ORANG TUA TRANSMIGRASI ANGKATAN : 1975 PENUH PENDERITAAAN YANG TAK
KAN PERNAH AKAN TERLUPAKAN, KARNA PEDIH DAN SENSARA Nama : M. Arofah ,-
Alamat : Sonomartani, Kec. Kuala
Hulu Kab. Labuhan Batu Utara
Menuturkan sejarah singkat
terjadinya mengikuti transmigrasi dari pulau jawa dan menuju pula sumatra
utara, pada mulanya transmigrasi ini bukan kemauan orang tua saya, tetapi ini
program pemerintah dan orang tua saya diberangkatkan karna mendapat iming-iming
yang sangat menggiurkan, karena sudah merasa orang tua saya tidak mampu dan
anak banyak, maka orangtua saya terpaksa mendaftarkan diri untuk ikut
transmigrasi tersebut, iming-iming itu adalah kado/pembinaan transmigrasi itu
menunjukkan seberkas foto lahan transmigrasi yang sudah semi permanen, yaitu 1
rumah 4 x 5 beratapkan seng dan cat putih, kondisi rumah panggung dengan tinggi
lantai dari tanah ± 60 cm, dan sebelah kanan kirinya tanaman padi berumur 1
sampai 10 hari, dan pembina tersebut memberitahukan kepada warga yang ikut
transmigrasi tersebut akan mendapat bagian masing-masing 2 ha beserta rumahnya.
Maka dengan berpikir panjang orang tua saya tergiur iming-iming tersebut, tanpa
memandang resiko benar atau tidak.
Singkat cerita :
Berangkatlah kami mula-mula ke kota
semarang untuk mendapat bimbingan dan arahan serta ditambah iming-iming yang
sangat menjamin kelangsungan hidup anak cucu/pecahan KK. konon akan mendapat
bagian tanah seperti jatah orangtua, setelah itu berangkatlah kami dengan
diangkut kendaraan kereta api menunuju pelabuhan untuk nail kapal tampomas
menuju mbelawan medan selama ± 1 minggu di kapal. Habis itu turun dari kapal
disambung naik bis kecil menuju guinting saya.
Dan disitulah singgah beberapa hari.
Dan pembina-pembina yang menghantar kami tidak boleh lagi ikut sampai ke
tujuan, hanya dibolehkan sampai disitu dan disuruh pulang ke jawa, dengan
adanya peraturan tersebut orang tua saya beserta warga lainnya sedikit
banyaknya ada perasaan takbar atau tak jelas : dengan pagi harinya berangkatlah
kami menuju tujuan dengan memakai angkutan bot/kapal yang sangat kecil dengan
menyelusuri sungai turun kelilis dengan dikelilingi hutan yang sangat rimba dan
lebat sekali yang belum pernah terdapat di pulau jawa sebelumnya, berjalan
makan waktu 1 hari sampai tujuan, sampilah kami ketempat pendaratan bot/kapal
kecil tersebut jam 8 malam, semua warga menangis dan merintih setelah tiba kami
diturunkan, karena apa tiada satu pun rumah, -
Dan semua hutan belantara yang tidak
ada nampak pemukiman dan yang lebih sadis lagi tiada nampak satu genggam tanah
yang dipijak semua air dan parahnya lagi itu bukan sampai tujuan masih sekisar
3 kilo/3000 meter lagi dengan berjalan meraba-raba, jalan yang digenangi air
merah/gambut setinggi satu dada aku ketika aku waktu itu, orang tua saya dengan
menggandeng 2 anak kanan kiri dan diatas kepala bekakas rumah dibawanya, sambil
terucap-ucap salah apa kami sama pemerintah dan teganya pemerintah membuang
kami ketempat yang tak layak dihuni manusia,-
Setibanya di rumah yang kami tuju
yang mana dijanjikan pemerintah, rumah yang diharapkan di foto itu hanyalah
tipuan dan iming-iming belaka. Tidak tahunya sebuah gubuk di dalam hutan
belantara yang beratapkan daun rumbia, apa hendak dikata mau nuntut pada siapa,
mau mengadu pada siapa, yang ada hanya tinggal penyesalan belaka dan pasrah
kepada alloh yang akan menuntunkan hidup dan mati, hari-hari hanya jeritan,
rintihan istri/ibu dan anak yang hanya nangis yang tak ada habisnya,
penderitaan demi penderitaan, makan terancam mau minum takut karna airnya merah
karna tanah gambut yang belum pernah terlihat di tanah jawa baik tanahnya
maupun airnya. Mau pergi takut karna tak tau arah dan jalan bagaikan ikan masuk
dalam bubu. Keadaan sekeliling hanya hutan belukar dan tak ada tanah yang
kelihatan karena semua tergenang oleh ari merah, tiga bulan belum mendapat catu
dari pemerintah bekal orang tua sudah kandas, dan untuk menyambung hidup apa
saja dimakan terutama jamur kayu dan daun-daunan.
Kesengsaraan demi kesengsaraan
indonesia sudah merdeka kenapa masih juga kita terancam penderitaan semacam
ini, inilah jeritan orang-orang buadar selang bulan kemudian mulailah
datang bantuan/catu berupa sembako, namun tidak mencukupi untuk makan 1 bulan,
dan mengambil catu tersebut sangat jauh berangkat dari rumah jam 4 malam sampai
tempat tujuan jam 10 siang karna belum ada sarana jalan, jalan tersebut masih
dibawah darurat Cuma dengan 2 batang kayu diikat dengan tali kail-kail hutan,
dan batang tersebut trapung di atas genangan air, karna tidak mencukupi
jalan/catu tersebut, apa-apa berupa alat untuk membukak hutan seperti cangkul,
parang linggis, gergaji, kampak dll, terpaksa ditukar kepada orang sekitar
tempat pengambilan catu/jatah dengan ubi kayu untuk menambah kebutuhan hidup
yang sangat terbatas.
Lama kelamaan warga mempunyai
inisiatif untuk membuka parit-parit dan tali-tali air supaya lahan bisa kering
demikian pun yang bisa tanam kayu talas dan nanas. Orang tua saya yang
mempunyai 5 anak. Saya sendiri anak ke 3 tahu keberadaan orang tua saya, masak
nadi dengan priok/katel yang besar dengan ukuran menanak nasi 1 kilo setengah
beras ini hanya diisi 1/4 kilo dengan airnya yang penuh satu priuk/katil demi
untuk menyambung hidup, ubi kayu hanya kulit luarnya aja yang dibuang, yang
dalam tetap diambil untuk jadikan sayur, tanam pisang tidak pernah sampai
kepada buah karna belum waktunya buah udah ditebas dijadikan sayuran begitulah
seterusnya, hanya iman dan ketabahn yang bisa bertahan hidup, 2 tahun kemudian
habislah jatah/catu kami dari pemerintah kehidupan semakin mencekam, penyakit
mulai datang berupa malavia dan demam dan gudik, karena kurang suluhan
kesehatan.
Terus 5 tahun kemudian mulailah
warga bisa menanam ubi kayu dan jagung, tapi juga tak bisa menikmati hasilnya
karena banyak hama berupa babi hutan dan kera liar, sekitar tahun 1980an
datanglah orang-orang dari kota dengan misi kristenisasi membagikan sembako
berupa beras dan indomi serta sedikit uang, siapa yang mau syaratnya harus
masuk kristen, kalau yang tidak, tidak dapat, demikianlah gejolak cobaan akidah
orang tua saya. Alhamdulillah dengan berkat akidah dan iman orang tua saya
tidak tergiur dengan iming-iming itu, walau tau hidup penuh derita dan kelaparan,
walau tidak sedikit orang yang mau menerimanya, waktu demi waktu berjalan
bersatu dalam mementaskan penderitaan, yaitu diadakan gotong royong untuk
membuka sarana jalan dan pertanian, mulailah ada hasilnya dengan menanam padi
dan nenas. Walau hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan hidup sudah sangat
tertolong dengan bisanya menanam padi dengan tadah hujan.
Singkat cerita penduduk semakin
bertambah, anak-anak semakin besar dan pecahan KK pun semakin padat dan
berkembang dari generasi ke generasi. Namun hidup tetap masih dalam di bawah
kemiskinan. Pemerintah memberi himbauan supaya masyarakat untuk tetap hidup
bergotong royong supaya kehidupan bisa sedikit mapan, namun penderitaan tetap
penderitaan.
Kini tiba saatnya pecahan KK yang
sangat berkembang pesat, kehidupan semakin tak seimbang, kini yang sudah bisa
membuka lahan yang dicadangkan pemerintah dengan janji-janji dulu yang mana KK
dapat 2 ha dan pecahan KK demikian juga ahli waris transmigrasi ini akan dapat
bagian lahan cadangan transmigrasi dengan seluas 10600 ha mana peta tinggal
peta dan janji tinggal janji, semua lahan sudah dikuasai pengusaha-pengusaha
besar kulit putih/cina, yang mana ribuan ha tidak ada ijin. Yang anehnya lagi
aparat desa atau pemerintah setempat diam saja tanpa ada respon apa-apa bila
mana warga mendapat tekanan-tekanan dari pengusaha tersebut.
Misal ya warga lewat jalan punya
pengusaha tersebut harus membayar palang, ada 2 palang dalam satu palang
dikenakan 50.000, kalau 2 palang jelas 100.000 ribu, padahal jalan cuma satu-satunya
itu yang dipakai untuk lintas menuju ladang masyarakat dan kenapa pemerintah
juga memberi izin alat negara untuk menjadi centeng dan menakut-nakuti
masyarakat, contoh ya, kalau dalam pembelaan/cuci parit tanaman masyarakat ada
yang tombang atau kena gusur baik tanahnya maupun tanamannya pihak masyarakat
tidak bisa berbuat apa-apa bila mau minta ganti rugi malah ditakut-takuti oleh
brimopnya, tapi sebaliknya kalau tanaman pengusaha kena suatu sedikit langsung
didenda dan terus dilaporkan kepada yang berwajib, yang sungguh tidak
adil dan tidak bijaksana pemerintah setempat untuk menagih wajib pajak lepada
warga dengan ancaman-ancaman dan menakut-nakuti, contoh pajak kepada
warga dengan ancaman-ancaman dan menakut-nakuti, contoh masyarakat yang hanya punya
lahan cuman setapak rumah ukuran 8 m ± 50 m (satu rantai) diwajibkan bayar
pajak 6000 rupiah, cara menagih ya baik di Forum maupun di rumah-rumah dengan
ucapan kalau saudara-saudara membayar pajak tidak tepat waktu dan terlambat
akan dikenakan denda, dan kalau sudah jatuh tempo pihak kecamatan langsung yang
mau datang kerumah-rumah.
Tapi kenapa pula orang pengusaha
yang puluhan hektar sampai ratusan hektar bahkan ribuan hektar tidak pernah
membyar pajak sama sekali, tapi aparat/pemerintah pura-pura tidak
tahu/mendengar dan melihat, pengaduan-pengaduan masyarakat tidak pernah ada
yang peduli, kami sebenarnya punya pemerintah atau tidak, salah dan dosa apa
sebenarnya warga transmigrasi ini kepada negara, kenapa sampai sekarang tidak
pernah kami merasakan kemerdekaan.
Tanah-tanah masyarakat diserobot
orang-orang cina yang dikawal oleh alat negara dengan bersenjata api, untuk
menakuti dan meredam kemarahan masyarakat yang tanahnya diambil paksa oleh
pengusaha atau orang cina yang tidak punyai hati sama sekali.
Dengan keluhan dan tutur penderitaan
sejarah kehidupan warga transmigrasi angkatan 1975 ini, saya mengharap
kepedulian dan kebijaksanaan pemerintah pusat untuk mengabulkan langkah dan
kebijaksanaan dalam mengemban amanah para pejuang dan para pahlawan yang telah
mendahului kita, untuk mensejahterakan rakyatnya dan bangsanya dari orang-orang
zolim/penjajah.
Apakah juga tidak melihat atau
pura-pura tidak melihat kenapa orang tua saya dan warga masyarakat/pribumi
dibolehkan mempunyai lahan harus dibatas-batasi, dengan I surat 2 ha, kalu 4
ha, 2 surat, tapi kenapa orang-orang cina bisa bikin surat tanah 50 ha, 100 ha
hanya dengan I surat, bahkan cina sendiri atas nama Ademin alias Abak
punya surat 1025 ha, hanya dengan satu surat, Indonesia ini sebenarnya negara
macam apa rakyatnya sendiri dibikin sengsara dan orang-orang kulit putih diberi
keluasan dan kemakmuran.
Benar dan tidaknya saya yakin
pengusaha-pengusaha kulit putih ini adalah melawan hukum dan jelas merugikan
negara, contoh yang sangat kecil mengeluarkan dan memasukkan pekerja semaunya
sendiri mau pecat dan tanpa ada pesangon apapun. Dan tidak punya surat
indentitas surat yang jelas, hanya dengan kekuatan uanglah mereka bisa berkuasa
dan bisa membeli alat negara untuk menakut-nakuti masyarakat yang melalui lahan
dia.
Demikian segelintir curhat saya,
semua ini tidak saya rekayasa, banyak masyarakat yang lebih menderita dan
tertindas oleh orang-orang zalim di desa kami semoga pembaca coretan saya ini
bisa perduli kepada warga transmigrasi angkatan 1975 ini, lebih jelas datanglah
ke desa kami.
( M. Arofah )
Pertama
kali saya transmigrasi
Saya
berangkat dari jawa desa Karangtengah/Keg Kemangkon Kab Purbalingga Banyumas,
saya di asrama Purwokerto 2 hari dua malam lalu berangkat ke Semarang di
Semarang 2 hari dua mala lalu berangkat ke Jakarta 1 hari lalu berangkat ke
pelabuhan Tanjung Priuk sore jam 10 malam berangkat ke Belawan.
Perjalanan
di kapal 1 minggu sampai di belawan jam 10 pagi lalu berangkat lagi naik Bis
dari Belawan jam 1 siang sampai Tanjungpasir jam 1 malam di Tanjungpasir dua
hari dua malam lalu berangkat ke Tran, naik bot dari Tanjungpasir jam 10 pagi
sampai Tran (AEK NAETEK) Sonomartani jam 7 sore lalu masuk ke hutan belum ada
jalan, dari jamur 9 sembilan jam 7 malam sampe lokasi jam 9 malam ditampung
digudang Tran jumlah orang 100 kepala keluarga. Rumah banyak yang belum jadi.
Saya menerima catu 1 bulan sekali kadang-kadang telat.
Waktu
telat catu itulah saya sedih sekali duit tidak ada beras habis anak saya tiga
dua perempuan satu laki-laki. Terpaksa saya jual linggis parang cangklok untuk
tukar ubi kayu di Nabar Sukarame.
Saya
sampe di tranmigrasi tgl 8/6/1975 menerima gran (Sertipikat) Tahun 1990
pembagian lahan untuk anak-anak sampe sekarang pada ngeluh menanyakan lahan
anak saya, jadi saya sekarang prihatin sekali lahan sudah habis dijuali orang
yang tidak tanggung jawab, jadi sekarang saya akan nuntut sama siapa.
Tolong
diuruskan, itulah keluhan saya dari saya
Sunanto/Wakil Tetua Wargra
Transmigrasi Desa Sonomartani
ASSALAMUALAIKUM. WR.WB…
PERTAMA KALI ORANG TUA KU DATANG KE DAERAH INI MASIH HUTAN
BELANTARA. JATAH RUMAH BELUM SEMPURNA. JADI SEMUA WARGA TRANSMIGRASI MENGUMPUL
DI RUANG SEKOLAH DAN SEBAGIAN WARGA TINGGAL BERSAMA di RUMAH yang SUDAH JADI
DAN PADA JAMAN dulu. SANGAT SULIT, WARGA HANYA MAKAN MENGHARAP JATAH PEMERINTAH
BERUPA SEMBAKO. KARNA MAU MENGERJAI LAHAN BANJIR. SEDANG PEMBEKOAN BELUM ADA.
SETELAH ADANYA KERJASAMA DAN GOTONG ROYONG WARGA TAHUN DEMI TAHUN LAHAN MULAI
BISA DITANAMI DAN JALANAN YANG DULU BANJIR, BERLUMPUR, DAN YANG DULU BERJALAN
MELALUI BATANG BATANG KAYU SUDAH BISA DILALUI.
DAN HINGGA SEKARANG MOBIL-MOBIL PUN SUDAH BISA MELEWATI
WALAU JALANNYA MASIH BANYAK LOBANG-LOBANG.
SAAT INI YANG MENJADI HARAPAN KAMI ADALAH MASALAH PERBAIKAN
JALAN. DAN SARANA PENDIDIKAN KARNA WALAU MASYARAKATNYA SUDAH BERKEMBANG DRAKTIS
JUMLAHNYA. TAPI PENDIDIKAN HANYA ADA SAMPAI SD/SMP. MAKANYA BANYAK ANAK YANG
HANYA MENGENYAM PENDIDIKAN SAMPAI SMP SAJA. KARNA KAMI SANGAT JAUH DARI KOTA
MAKANYA ANAK YANG MELANJUT SEKOLAH KE KOTA BISA DIHITUNG JUMLHANYA. “DAN
SELANJUTNYA MASALAH TANAH SETELAH ORANG TUIA KAMI GENERASI SEPERTI SAYA BANYAK
YANG TIDAK MENDAPAT BAGIAN TANAH : SEMENTARA KAMI ADALAH BARU GENERASI PERTAMA
SEDANG MENURUT CERITA TANAH DI DAERAH KAMI BERIBU RIBU HEKTAR.
DEMIKIANLAH HARAPAN DAN YANG ADA DALAM PIKIRAN SAYA.
WASSALAM, SEKIAN DARI SAYA
WARGA/PUTRA DAERAH, SONOMARTANI/TRANS LAMA
RIWAYAT
HIDUP WARGA TRANSMIGRASI KE SUMATRA UTARA
Kecamatan
: Kuala Hulu Kabupaten : Labuhan Batu. Aek Naetek
Dengan ini kami menyatakan yang
sejujurnya bahwa Transmigrasi yang telah dijanjikan pemerintah pada tahun 1975,
sangat memperhatinkan dan sedih sekali. Ternyata semua itu tidak sesuai dengan
apa yang kami harpkan. Katanya….??? Setiap warga yang mengikuti Transmigrasi
akan diberikan tempat yang sangat berkualitas dan setiap akan diberikan tempat
yang sangat berkualitas dan setiap satu anak akan diberi seperampat hektar
tanah untuk perumahan dan dua hektar tanah untuk perkebnunan. Tapi, ternyata
semua itu hanya janji belaka, sehingga pada saat ini kami tidak pernah
mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh pemerintah tahun 1975.
Pada
hal dulu sejak pertama kali kami datang bertrangmigrasi ke Sumatra Utara Kec.
Kualuh Hulu Kap. Labuhan Batu Aek Naetek. Sesampainya kami disini sangat
terkejut sekali, karena tempat yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang
dijanjikan. Kami hanya diberi rumah kecil berukuran 4 x 5 m dan beratapkan
rumbinya, bahkan lokasinya masih berawa-rawa dan masih banyak pula kayu yang
sangat besar-besar yang malang melintang di sekeliling rumah kamu. Disaat itu
kami sangat susah sekali untuk keluar masuk rumah, karena harus melewati
batang-batang kayu yang malang melintang. Bahkan makan pun kami sangat berkekurangan,
karena jatah yang diberikan oleh pemerintah tidak mencukupi selama 1 bulan,
sehingga kami makan harus diirit-irit, bahkan kami sering tidak makan, karena
di saat itu mau bekerja pun belum ada pekerjaan, mau mengelola tanah pun kami
belum bisa karena lokasinya masih berawa-rawa.
Begitulah
kehidupan kami pada waktu itu. Makanpun kami harus menunggu jatah dari
pemerintah, mau kemana-mana kami belum bisa. Tetapi walau bagaimanapun kami
tetap bertahan hingga sampai sekarang, meskipun kami harus buruh setiap hari,
demi untuk makan kami sehari-hari. Tapi !!!! hingga saat ini kami belum
mendapatkan tanah-tanah tersebut, dikarenakan tanah itu telah dikuasai dengan
pengusaha cina, yang lebih sakitnya lagi, sekarang ini kami tidak bisa bebas
untuk melewati jalan yang telah dikuasai dengan pengusaha cina. Setiap kami mau
lewat harus melapor dahulu dengan penjaga jalan. Bahkan jalan tersebut
didirikan pos dan palang, setiap kami lewatt membawa barang dikenakan biaya.
Begitulan
penderitaan kami dari sulu sampai sekarang belum ada yang dapat
menyelesaikannya.,Maka dari itu kami memohon dengan sangat kepada Bapak
Pemerintah agar dapat membantu menyelesaikannya, supaya penderitaan kami ini
tidak berkepanjangan sampai ke anak cucu kami.
CUKUP SEKIAN DAN TERIMAKASIH,
( TUKIMIN )
Kasus Sengketa Tanah
Korban (Pelapor) :
Nama
: HADI WARDOYO
Umur
: 65 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Bertani
Alamat
: Dusun I Purwosari, Desa Sonomartani, Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhan Batu Utara
Prop. Sumatra Utara
Mengusahai tanah lahan pertanian
seluas : 8 Ha (delapan) hektare, berukuran : 100 m x 800 m, dengan batas
Sebelah
Utara
: PT. Sonomartani
Sebelah Barat
: Paret
Sebelah
Selatan :
Bantu Siregar
Sebelah
Timur :
Habib
Telah ditanami (lahan tersebut) oleh PT. Nagali Semangat
Jaya, alamat : Desa Sonomartani, Kec. Kualuh Hulu, Kab. Labuhan Batu Utara.
Kasus tersebut telah (sudah) dilaporkan ke Kantor Polres Labuhan Batu di Rantau
Prapat.
Awal dari kejadian tersebut dikasih tahu oleh Sdr.
Suprayitno bahwa tanah saya tersebut ditanami oleh PT. Nagali Subur Jaya,
setelah itu terus saya tengok, memang benar kejadiannya.
Proses Pelaporan :
Pertama diajak oleh Sdr. Suprayitno
untuk dilaporkan ke LBH Kantor di Desa Pomoli Kec. ……Kab. Labuhan Batu Utara.
Setelah diterima oleh LBH (Penerima) laporan Bp. Drs. Muhammad Ali Nasution,
SH.,- Selanjutnya PT. Nagali Subur Jaya dipanggil oleh LBH tersebut satu kali,
dua kali, sampai tiga kali tidak hadis. Maka terpaksa dilanjutkan (dilaporkan)
oleh LBH tersebut ke Polres Labuhan Batu.
Saksi : 1. Sdr.
Suprayitno 2. Sdr. Symin
Panggilan polisi 3 kali
Catatan : sewaktu diperiksa sebelum
selesai pertanyaan (pertengahan) kami berdua (Hadi Wiyono dan Suprayitno)
diajak keluar dari tempat pemeriksaan oleh pengacara dari
PT. Nagali Subur Jaya (Bahrun Munthe, SH) yang isi dan maksudnya bahwa saya diajak
berdamai, Pengacara tersebut bilang :
“Pak, sudahlah baiknya berdamai saja
karena tanah tersebut walaupun bapak pertahankan tidak akan menjadi milik
bapak, karena bukan tanah bapak”
Menurut pengamatan kami, pengacara
PT. Nagali Subur Jaya (Sdr. Bahrun Munthe, SH) tersebut adalah kata-kata
penghinaan kepada yang miskin.Perdamaian berkali-kali gagal.
Akhirnya
perdamaian dilaksanakan bertempat di rumah Mako Kalon Pancing, Pamuli Pihak
PT. Nagali Subur Jaya sebanyak 3 orang
Pihak Hadi Wardoyo sebanyak 6 orang
Pihak saksi (Kades) sebanyak 1 orang
Perdamaian tidak membuat hasil
kesepakatan dari dua belah pihak, tidak ada keputusan akhirnya bubar.
100 Ha Lahan Warga Transmigran Dikuasai PT.Nagali
Jumat, 23 September 2011 | 15:50:46Labura-Warga
transmigrasi yang tinggal di desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu,
Kabupaten Labuhanbatu Utara ( Labura) mengaku bahwa sebahagian lahan
yang seharusnya diperuntukkan kepada 700 KK ( kepala Keluarga) warga
transmigrasi dari pulau jawa beserta untuk anak cucunya, sebahagian
telah dikuasai oleh PT.Nagali
Menurut salah seorang Warga Transmigran Jamalik ( …) yang merupakan warga
transmigrasi dari Wonosobo, Jawa tengah, kepada wartawan di rumahnya Sabtu
(17/9), di Desa Sonomartani, mengatakan, bahwa ada sekitar 1100 (seribu
seratus) hektar lebih lahan transmigran yang telah dikuasai oleh PT. Nagali
hingga sekarang.
Diceritakannya, para warga trans yang sekarang berada di Desa Sonomartani
tersebut didatangkan dari Pulau Jawa diantaranya dari Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Jawa Barat, lewat program Departemen Transmigasi Indonesia pada
tahun 1973. Dimana masuknya warga trans untuk gelombang besar pertama
dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1973 dengan kode
proyekyaitu 7374, sebanyak 200 orang. Mereka dikirim dengan 2 tahap
yaitu 100 orang pertahap / bulannya. Kemudian gelombang besar kedua
dengan tahunanggaran atau kode proyek 7475 sebanyak 500 kk dengan
pengiriman 5 tahap. Dan bahkan Jamalik sendiri mengaku sebagai ketua
rombongan dan bahkan pernah mendapat pelatihan dari pemerintah saai itu
terkait pengembangan pertanian.
Lanjutnya, pemerintah khususnya departemen transmigrasi awalnya memberikan
“angin sorga “ kepada warga bahwa tempat yang mereka tuju sangat bagus,
lahannya subur, sawah sudah dicetak lengkap dengan irigasi, kemudian
perumahan yang cukup bagus untuk dihuni lengkap dengan fasilitas sekolah
rumah, ibadah lapangan dan sebaginya. Sehingga dengan kampanye bohong ini
warga sangat tertarik dan mereka juga diiming imingi jumlah tanah yang luas
lengkap dengan sertifikat.
Diceritakannya, Setelah sampai dilokasi sesuai yang telah dijanjikan
pemerintah sebelumnya,ternyata kondisinya masih hutan dengan tumbangan kayu
yang tidak beres, dan apa yang dijanjikan sewaktu belum datang ternyata
tidak benar. Dan bahkan pertama kali sampai dilokasi belum bisa langsung
menanam tanaman untuk kebutuhan pokok.
Dan untuk itu kami menuntut kepada pemerintah agar diberi jadup ( jaminan
hidup) karena belum bisa menanam dan bahkan juga masih ikut sibuk memboloh
rumah, dan dengan terpaksa mengupah lah sama PT dan pemborong supaya ada
untuk dimakan. Dan menanam pertama dilakukan dengan system kolektif. Namun
karena belum panen, terpaksa kami menuntut perpanjangan jadup selama
setengah tahun, itupun tinggal hanya dikasih beras dan ikan asin” cerita
Jamalik sembari menambahkan, bahwa lahan transmigrasi tersebut juga pernah
ditinjau langsung oleh mantan menteri penerangan, Harmoko pada tahun 1985.*
Mantan tamatan PGSLP ( pendidikan guru sekolah lanjutan pertama) yang
sekarang mengajar di SMP Sonomartani ini juga menjelaskan, bahwa lahan yang
seharusnya milik warga transmigran tersebut dikuasai PT. Nagali pada tahun
sekitar 1986 yaitu pada masa kepala desa Sonomartani pertama, yaitu Untung.
Dimana lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh PT. Rimba Agung untuk
mengambil kayu. Dan sekitar tahun 1986 PT. Nagali menguasai lahan tersebut
sekitar 1.100 hektar yang selanjutnya menanaminya dengan tanaman kelapa
sawit sejak sekitar tahun 1989.
Demikian juga disampaikan Muhammad Arofa ( 41 ) yang merupakan ketua
Kopmas (kelompok masyarakat) peduli warga transmigrasi, dirinya mengaku
ikut bersama orang tuanya saat pertama kali datang. Menurut
sepengetahuannya, total lahan yang direncanakan untuk dialokasikan
kepada warga transmigran termasuk lahan cadangannya seluas 11.000
(sebelas Ribu) hektar, yang terdiri dari rincian, 400 hektar untuk hutan
suaka dan 300 hektar untuk transmigrasi local ( transmigrasi GKPI) dan
sekitar 10.000 hektar lebih untuk dikelola warga transmigrasi yang
datang dari pulau Jawa termasuk cadangannya untuk anak cucunya.
Lahan yang di HPL ( hak pelepasan lahan) pertama kali pada tahun 1978
seluas 1400 hektar untuk 700 KK dengan masing-masing 2 hektar per KK.
Setelah lahan tersebut di kelola, selanjutnya dikeluarkan lagi HPL untuk
lahan cadangan, sehingga total yang di HPL kan menjadi 4600 hektar”.
Namun, menurut Muhammad Arofa sekitar pada tahun 1986 PT. Nagali
mengambil lahan tersebut lebih kurang 1.100 hektar termasuk lahan yang
sudah di HPL
kan tersebut dan lahan cadangan. Dan yang seharusnya untuk lahan cadangan
lainnya juga ikut dikuasai oleh PT. Abak dan beberapa pengusaha perseorangan lainnya.
Dan sebagai respon dari warga, melalui Kopmas peduli warga Transmigrasi
yang terbentuk sejak tahun 2002 dan beranggotakan lebih kurang 639 KK sudah
pernah memohon kepada pemerintah setempat maupun pihak yang bersangkutan,
diantaranya Bupati Labuhanbatu dan Bupati Labura, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Labura, Badan Pertanahan Nasional Labuhanbatu dan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, dengan menyurati serta menembuskan surat tersebut
ke pihak yang bersangkutan lainnya dari tingkat Provinsi Sumut hingga
pemerintah pusat agar dapat menyelesaikan masalah ini. “Anak cucukan
semakin lama semakin besar dan tentunya membutuhkan tanah” jelasnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kesejahteraan Masayarakat ( LKKM), Daniel
Marbun, SH mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan terjadinya pengelolaan
lahan tersebut yang tidak tepat sasaran. PT. Nagali yang sepengetahuannya
tidak memiliki Izin Hak Guna Usaha ( HGU) tersebut tentu sudah melanggar
peraturan terlebih telah menguasai lahan Transmigrasi.
Dan menurutnya, seharusnya pemerintah cepat tanggap. Dan tanah tersebut
sepatutnya segera dikembalikan kepada warga dan sekaligus merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani
lewat pemeberian lahan kepada para petani.
Manager PT. Nagali, Pargaulan Sitorus saat dikonfirmasi, Rabu (21/9)
mengakui bahwa lahan yang dikuasai perusahaan tersebut sejak tahun 1991
lalu seluas 1000 hektar lebih merupakan lahan transmigrasi yang sudah di
HPL kan sebelumnya.
Terkait masalah kepemilikan izinnya, pargaulan juga mengakui bahwa PT.
Nagali tersebut tidak memiliki HGU, dan sebelumnya hanya memiliki izin
prinsip. “ memang lahan PT. Nagali itu merupakan lahan transmigran yang
dikuasai sejak tahun 1991. Dan izin yang dimiliki sebelumnya hanya izin
prinsip, sedangkan HGU belum ada “ ujar Pargaulan.
Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Labura
Drs. B. Simorangkir, MPd saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan
membenarkan bahwa pihak transmigran tersebut sudah pernah menyurati pihak.
Namun pihaknya menyarankan warga trans tersebut agar menindaklanjuti ke
Dinas Transmigran Provsu. Dirinya juga mengakui, sampai saat ini pihaknya
tidak memiliki data terkait lahan transmigran tersebut.
Dijelaskannya, bahwa peran serta dari pihak Dinas Sosial, Tenaga kerja dan
Transmigrasi dalam penyelesaian kasus ini tidak ada lagi. Sesuai dengan
tugas dan fungsi, dalam program transmigran pihaknya hanya bertugas untuk
melakukan mulai dari perencanaan, penempatan hingga ke pembninaan selama
lebih kurang lima tahun atau sampai warga trans tersebut bisa mandiri.
Namun setelah terbentuk menjadi satu desa defenitif seperti desa
Sonomartani tersebut, maka yang menangani masalah mereka itu langsung
ditangani Pemda sesuai tata pemerintahan.
Sesuai dengan tugas, kami hanya melakukan mulai perencanaan, penempatan
hingga pembinaan. Namun setelah mandiri dan menjadi satu desa defenitif
sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab Pemda sesuai tata pemerintahan”
jelasnya. ( Renz )
Jumat, 16 Juli 2010 | 14:14:31
PT Bangun Citra Jaya Mandiri
Laporkan Penipuan Kepada Polda Sumut
MEDAN (EKSPOSnews): PT Bangun Citra
Jaya Mandiri, perusahaan minyak kelapa sawit di Lampung melaporkan PT SSNI ke
Polda Sumatra Utara terkait dugaan penipuan jual beli pabrik kelapa sawit di
Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumut.
Pengaduan itu tercantum dalam surat
bernomor Pol:STPL/195/V/2010/Dit Reskrim Polda Sumut yang diterima penyidik
Aiptu M. Rose Harahap.
Direktur Operasional PT Bangun Citra
Jaya Mandiri Abdilah Zaki di Medan, Jumat 16 Juli 2010, mengatakan, dugaan
penipuan itu berawal ketika pihaknya berencana membeli pabrik kelapa sawit
milik PT SSNI di Kualuh Hulu pada 2008.
Dalam proposal yang diajukan PT SSNI
disebutkan pabrik kelapa sawit itu mampu memproduksi minyak kelapa sawit (crude
palm oil/CPO) sebanyak 45 ton per jam.Dari perundingan yang dilakukan,
disepakati harga pembelian pabrik kelapa sawit itu sebesar Rp70 miliar dengan
perincian Rp10 miliar dibayar melalui rekening PT SSNI dan sisanya di Bank
Syariah Mandiri Cabang Rantau Prapat.
Seluruh perjanjian jual beli dan
kesepakatan pembayaran itu dibuat di hadapan notaris Ilyas Zaini yang berkantor
di Jakarta pada 25 Juli 2008.Disepakati juga bahwa pihaknya harus membayar uang
muka sebesar Rp5 miliar jika berniat membeli pabrik kelapa sawit
tersebut."Karena memang berminat, kami akhirnya membeli perusahaan itu
dengan uang muka Rp1 miliar dari Rp5 miliar yang disepakati," kata
Zaki.
Ia menambahkan, ketika melakukan
pengecekan di lapangan, ditemukan pabrik kelapa sawit itu sudah tidak memiliki
aktivitas karena telah berhenti berproduksi sekitar satu tahun.
Namun, karena telah memberikan dana
sebesar Rp1 miliar, transaksi pembelian itu tetap dilanjutkan dengan
kesepakatan sisa uang muka Rp4 miliar akan diserahkan jika pabrik tersebut
kembali beroperasi.
Untuk mengaktifkan operasional
pabrik itu, PT Bangun Citra Jaya Mandiri terpaksa harus mengeluarkan dana
sebesar Rp3,7 miliar untuk melakukan renovasi dan membeli berbagai peralatan.
Kemudian, setelah pabrik kelapa
sawit itu dioperasionalkan, pihaknya mengetahui jika tempat itu hanya mampu
memproduksi 27 ton CPO per jam, bukan 45 ton sebagaimana proposal PT
SSNI.
Dengan kemampuan produksi yang tidak
sesuai harapan dan sulit membiayai perusahaan itu, pihaknya mengajukan
permohonan peninjauan ulang harga pembelian pabrik kelapa sawit itu kepada PT
SSNI.
Dalam perundingan yang dilakukan,
disepakati beberapa poin keputusan seperti pihaknya akan mencari investor baru
dan aset jaminan dalam transaksi tersebut diizinkan untuk dijual, baik secara
sukarela maupun lelang.
Kesepakatan itu dibuat di depan
perwakilan Bank Syariah Mandiri sebagai tempat pembayaran sisa dana pembelian
pabrik kelapa sawit tersebut pada 20 Februari 2009.
Namun, pada 16 April 2010
orang-orang suruhan PT SSNI melakukan pengusiran paksa terhadap karyawan dan
staf PT Bangun Citra Jaya Mandiri yang sedang bekerja di pabrik kelapa sawit
itu.
"Karena pengusuran menggunakan
preman, karyawan kami hanya bisa pasrah," kata Zaki.
Awalnya, kata dia, pihaknya membuat
laporan ke Polres Labuhanbatu tetapi tidak ditanggapi dengan alasan pabrik
kelapa sawit itu masih dianggap milik PT SSNI. "Akhirnya kami membuat
laporan pengaduan ke Polda Sumut agar kasus ini bisa diselesaikan dengan
adil," kata Zaki.
Anehnya, katanya, berbagai aset yang
dibeli PT Bangun Citra Jaya Mandiri sempat hilang dari pabrik kelapa sawit itu
ketika pengusiran paksa tersebut dilakukan. "Namun ketika kasus itu
dilaporkan ke polisi, barang-barang itu ada lagi di pabrik," katanya.
Kasat II/Bidang Ekonomi Direktorat
Reskrim Polda Sumut AKBP Alberd Sianipar yang dihubungi mengatakan, pihaknya
akan menyelidiki dulu pengaduan yang disampaikan PT Bangun Citra Jaya Mandiri.
Ketika dipertanyakan tentang
kemungkinan memeriksa pimpinan PT SSNI, Alberd Sianipar menyatakan pihaknya
akan fokus dalam menyelidiki pengaduan itu terlebih dulu.
"Nanti kan mungkin saja
prosesnya kesana," kata Alberd. (ant)
SUARA
PEMBARUAN DAILY
Tuntaskan
Kasus Perusakan Hutan di Labuhan Batu
[MEDAN]
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jen-deral (Pol) Sutanto diminta
mengusut tuntas laporan dugaan perambahan, penguasaan maupun perusakan hutan di
Register 4/KL yang diperkirakan mencapai 7000 hektare (ha) di Desa Sukarane dan
Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh
Leidong, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara (Sumut).
Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut,
Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) dan Lentera menyampaikan hal tersebut, melalui
surat yang dilayangkan ke Markas Besar Polri di Jakarta. Surat itu dengan
tembusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Agung Laksono, Kejaksaan Agung, Gubernur Sumut, Samuel Pardede, dan lainnya.
"Kami
sangat mendukung Polri ketika dapat menangani dugaan kasus perambahan hutan
oleh Adelin Lis, Direktur Utama PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI),
meski perusahaan itu mengantongi izin hak guna usaha (HPH)," kata Direktur
Eksekutif Walhi Sumut Hardi Munthe, sepulangnya dari Markas Polda Sumut, akhir
pekan lalu.
Namun,
Walhi Sumut mempertanyakan kembali komitmen tersebut, apakah polisi memang
dapat menangani PT Sawita Ledong Jaya, yang diduga tidak memiliki izin HPH,
tidak memiliki Amdal setelah mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tapi bisa beroperasi di Labuhan Batu, sampai tuntas. Menurut Hardi, kasus itu
dapat dijerat pidana.
Bersama
Sekretaris Eksekutif Badan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu) Mangaliat Simarmata,
Direktur Eksekutif KPS Sahat Lumbanraja, Sekretaris Eksekutif Lentera Diapari
Marpaung dan Herwin Nasution, Hardi menegaskan, beberapa aspek hukum yang tidak
dipenuhi PT Sawita Ledong Jaya terdapat pada Undang- Undang Nomor 41 Tahun
1999, tentang Kehutanan.
Selain
itu, aspek hukum lainnya berdasarkan UU No 14 Tahun 2004, menyangkut
perkebunan, dan UU No 23 Tahun 1997, menyangkut lingkungan hidup. Kedatangan
empat perwakilan lembaga masyarakat itu hendak menemui Kapolda Sumut, Irjen Pol
Nuruddin Usman. Namun, mereka diterima oleh AKBP Fauzi, Sekpri orang nomor satu
di Polda Sumut tersebut.
"Kedatangan
kami ke Polda ini sudah yang keempat kalinya. Namun, kasus yang dilaporkan,
saat dipertanyakan, jawabannya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya,"
kata Mangaliat Simarmata. Menurut Mangaliat, saat mendengar jawaban Fauzi
sesuai arahan Kapolda Sumut, polisi akan melanjutkan penanganan kasus tersebut
sampai tuntas.
"Sesuai
dengan petunjuk Kapolda, kasus itu tetap akan ditangani. Polda akan menggelar
perkara tersebut, tidak menghentikan laporan itu begitu saja. Hasilnya nanti
diketahui dalam gelar perkara, apakah PT Sawita Ledong Jaya, perusahaan yang
dilaporkan itu, terbukti bersalah atau tidak," ujar Mangaliat mengulangi
ucapan Fauzi, sesuai dengan arahan Kapolda Sumut.
Menghentikan
= Menurut Mangaliat, sangat ironis bila kasus itu tidak dapat ditangani bila
dibandingkan dengan perusahaan pemegang HPH seperti PT Mujur Timber Group.
Soalnya, berdasarkan surat Badan Planologi Kehutanan No S.293/VII-PW/2005,
menyatakan hutan yang dikuasai PT Sawita Ledong Jaya merupakan kawasan hutan,
dikelola tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan dari pejabat ber- wenang,
sesuai surat keputusan bersama (SKB).
SKB
itu melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional, sesuai dengan No 364/Kpts - II/1990, No 519/Kpts /HK.050/ 7/1990 dan
No 23 - VIII - 1990, menyangkut ketentuan pelepasan kawasan hutan serta
pemberian HGU. Hal ini untuk pengembangan usaha pertanian. "Setidaknya,
polisi dapat menghentikan pengrusakan itu," ungkapnya.
Kuasa
hukum PT Sawita Ledong Jaya, Coki TN Sinambela mengharapkan, Walhi bersama
lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar tidak banyak mencampuri penanganan kasus
oleh polisi atas PT Sawita Ledong. Menurutnya, lebih baik mereka yang
berperkara masalah hukum, menyerahkan kasus itu kepada polisi.
"Lebih
baik kita yang sudah berperkara ini mempercayai penanganan hukum, sesuai yang
diharapkan. Nantinya akan terungkap, apakah PT Sawita Ledong memang terbukti
bersalah atau tidak. Nanti hasilnya akan diketahui, jadi lebih baik pihak yang
keberatan tidak asal ngomong," kata Sinambela.
Ia
menegaskan pihaknya akan menuntut balik empat lembaga tersebut. [AHS/W-8]
Dilintasi Truk Bermuatan 40 ton,
Jembatan di Jalan Lintas Kualuh Terancam Ambruk
Posted in Daerah by Redaksi on
Agustus 14th, 2007 sampai sekarang tidak ada kepdulian ????
Aekkanopan
(SIB)
Empat
jembatan di jalan lintas Kualuh, masing-masing jembatan parit alam yang
berjarak beberapa meter dari PKS PT Sonomartani Sawita Namora Int (PT SSNI),
Jembatan Simpang Jambur, dan jembatan simpang transmigrasi lama ketiganya di
Desa Sonomartani Kecamatan Kualuhhulu serta jembatan titi payung di Dusun
Pulogambut, Desa Sukaramebaru Kecamatan Kualuhhulu, terancam ambruk akibat
bebas dilintasi truk roda 10 bermuatan 20 ton padahal kelas jalan dan
jembatan hanya khusus kenderaan bertonase 8 ton.
Pantauan
SIB Sabtu (11/8), terjadi antrean truk di jembatan parit alam karena 1 unit
truk Colt Diesel hampir terperosok masuk ke lobang di sekitar jembatan yang
kondisinya memprihatinkan. Kondisi jembatan terparah dijumpai di jembatan
simpang Jambur dan jembatan simpang transmigrasi lama.
Hal
itu terjadi diduga karena bebasnya truk roda 10 melintas, kata warga di sekitar
lokasi jembatan. Apabila tidak segera diperbaiki tidak tertutup
kemungkinan dalam waktu dekat jembatan itu akan ambruk,†imbuh warga.
Kita
juga prihatin setelah melihat jembatan titi payung, kata Wakil Ketua PAC PDI-P
Kecamatan Kualuh selatan Untung Hardianto yang turut bersama SIB saat itu.
Jembatan yang baru rampung dikerjakan beberapa bulan lalu berbiaya ratusan juta
rupiah dari APBD Labuhnbatu TA 2006 oleh kontraktor dari Rantauprapat, terancam
ambruk karena dari 115 batang besi baja yang konstruksinya dilintangkan dengan
cara dilas sudah ada yang berlepasan.
Sedikitnya
20 batang baja yang dilas di sisi jembatan tidak menyatu lagi dengan galang
besi yang letaknya di sisi kiri kanan jembatan sehingga bila kendaraan melintas
terdengar suara nyaring. Agar kondisi jembatan tidak bertambah parah, untung
berharap instansi terkait segera tanggap.
Diyakininya
penyebab rusaknya jembatan itu karena truk roda 10 bermuatan 20 ton ke atas
bebas melintas padahal jembatan itu hanya boleh dilalui kenderaan bertonase
maksimum 8 ton sesuai Perda. (CHF/m)
Medan, 5 Juli 2007Release Pers
:
Kepada Yth :REKAN-REKAN
MEDIAdi Medan Salam hijau, Merebaknya kasus
PT.Sawita Leidong Jaya (SLJ) yang mencuat baru-baru ini hendaknya jangan
disikapi secara tidak proporsional oleh POLDA Sumatera Utara. Belakang di
beberapa media massa terbitan Medan yang diamati nampaknya POLDA Sumut seakan
menjadi semacam Humas (hubungan masyarakat) PT.SLJ. Kerap kali POLDA
Sumut mengungkapkan penegasannya bahwa PT.SLJ memiliki ijin dan perkebunan
tersebut adalah investasi yang seolah-olah jangan diganggu oleh siapapun. Lalu
tudingan POLDA sering diarahkan kepada Petani yang mengklaim sebagian lahan
yang berkonflik atau dikuasai oleh PT.SLJ. Justru pengaduan kami baru-baru ini
ke POLDA Sumut tidak digubris, padahal secara resmi kami sudah laporkan dugaan
tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh corporasi PT.SLJ di kawasan hutan
register 4/KL (kawasan hutan lindung dan konservasi), ujar Hardi Munthe
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara di Medan pada kamis 5 Juli 2007. Lima
(5) LSM/NGO seperti BAKUMSU, LENTERA, KPS, OPPUK didampingi oleh WALHI Sumatera
Utara telah berulangkali menyerahkan secara resmi data dan fakta penguasaan,
pendudukan dan pengusahaan kawasan hutan lindung dan konservasi yang mencapai
7000-an hektar di Kecamatan Kualuh Hulu (khususunya di Desa Sukarame dan Sonomartani)
dan Kec. Kualuh Leidong (Desa Air Hitam) tanpa ijin dari pejabat berwenang yang
menangani kehutanan. Dan mengapa kami melaporkan ini ke MABES POLRI melalui
Bapak Komjen Pol. Bambang H.Danuri karena kami nilai POLDA Sumut tidak proaktif
dan tidak serius menanggapi laporan yang jelas-jelas terjadi setidaknya sejak
tahun 1999 oleh corporasi PT.SLJ di lokasi dimaksud, tambah Hardi. Hal
yang dapat kami catat, nampaknya Kepolisian dalam hal ini POLDA Sumut bersikap
ambivalen atau mendua, satu sisi POLDA SU (kepolisian) menunjukkan
keseriusannya dalam berbagai kasus perambahan yang melibatkan
corporasi/perusahaan seperti kasus PT.Mujur Timber Group di kawasan hutan
Madina, kasus register 40 (DL.Sitorus) namun di sisi lain tidak proaktif dan
kurang merespon dalam kasus indentik/serupa yang melibatkan corporasi
seperti PT.SLJ yang mana bukti atau petunjuk awalnya sudah kami
ajukan. POLDA seharusnya sigap dan mengambil tindakan konkrit untuk mengusut
dan memproses kasus ini. Malah yang terjadi dalam beberapa kali kunjungan kami
ke MAPOLDA SU dalam rangka melaporkan kasus ini kelihatan POLDA SU buang badan
dan lempar bola. Sudah 3 kali kami ke POLDA melaporkan kasus ini namun sangat
sulit diterima pengaduan kami, padahal tindak pidana semacam ini bukanlah delik
aduan, sesungguhnya Aparat Hukum yang harus proaktif mengusut kasus semacam ini
apalagi bukti permulaan sangat cukup karena dilengkapi dengan dokumen-dokumen
pendukung yang kami (dan rekan-rekan) yakini sangat membantu Aparat Hukum untuk
mengusut kasus ini. Justru kenapa POLDA SU malah kelihatan sangat serius
mengusut dan menangkapi Petani dari Kelompok Tani Penghijauan yang diadukan
oleh PT.SLJ dengan alasan pengerusakan tanaman sawit padahal perkebunan sawit
tersebut berada di kawasan hutan register 4/KL yang belum memiliki ijin
pelepasan kawasan dari Menhut, tegas Hardi. Perlu diketahui bahwa sesuai
dengan Surat Badan Planologi Kehutanan No. S.293/VII-PW/2005 tertanggal 21
April 2005 yang secara jelas menyatakan bahwa kawasan yang dikuasai dan diusahai
PT. Sawita Leidong Jaya adalah kawasan hutan register 4/KL dan belum memiliki
ijin pelepasan kawasan dari pejabat yang berwenang sesuai SKB (surat keputusan
bersama) Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN
No.364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/1990, No.23-VIII-1990 tentang
Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk
Pengembangan Usaha Pertanian. Sehingga atas dasar ini seharusnya sudah harus
ada tindakan hukum konkrit untuk menghentikan penguasaan kawasan hutan lindung
tanpa ijin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Kehutanan
karena menyangkut kawasan hutan lindung dan konservasi. Selain ijin pelepasan
kawasan dari Menhut yang belum dimiliki, PT.SLJ juga belum memiliki ijin
kelayakan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan hidup) karena sesuai UU
No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup maka kegiatan semacam ini wajib
dilengkapi dengan ijin AMDAL. Kami sudah mempertanyakan ijin kelayakan AMDAL
ini kepada Menteri Lingkungan Hidup, Bapedalda Sumatera Utara dan Bapedalda
Kab.Labuhan Batu baik melalui surat maupun secara langsung. MNLH dan Bapedalda
memang belum membalas surat kami tersebut akan tetapi informasi yang kami
dapatkan secara lisan dari salah seorang pejabat di BAPEDALDA Sumut (Ir. RS) bahwa
pihak mereka belum pernah mendengar atau menangani ijin AMDAL yang namanya
PT.Sawita Leidong Jaya. Hal yang sama juga WALHI Sumatera Utara belum pernah
mendengar atau mengetahui ada ijin AMDAL PT.SLJ. Secara logika tidak mungkin
diberikan ijin AMDAL kalau ijin penggunaan kawasan hutan lindung dan konservasi
belum diberikan. Selanjutnya ini berarti PT.SLJ terindikasi kuat belum memenuhi
persyaratan ijin sesuai peraturan yang belaku. Jangan seolah-olah PT.SLJ sudah
kantongi ijin lokasi atau prinsip dari Bupati atau ijin perkebunan lantas
dengan mudah menguasai dan menguasahai kawasan hutan lindung dan konservasi.
Jika memang PT.SLJ ingin berinvestasi maka wajib patuhi dan taati prosedur dan
perudangan yang belaku, jika tidak maka semua orang bisa melakukan hal yang
sama dengan mudah. Apakah yang begini yang namanya investasi yang harus
dilindungi? Kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi di Sumatera Utara
dan banyak kasus-kasus seperti ini tidak muncul ke permukaan. Sepatutnya hal
semacam ini dijadikan perhatian serius semua instansi yang terkait mulai dari
Menhut, Kapolri, Dinas Kehutanan Sumut , Bapedalda Sumut, POLDA Sumut, BKSDA
(balai konservasi sumber daya alam, karena menyangkut kawasan konservasi) dan
aparat terkait lainnya, hukum harus diperlakukan adil dan Aparat Hukum jangan
ambivalen, desak Hardi Munthe. Dengan ini WALHI Sumatera Utara kembali
mendesak Kapolri melalui KAPOLDA SU untuk proaktif merespon laporan pengaduan
kasus PT.SLJ yang dilakukan oleh LSM/NGO dan kepada Menteri Kehutanan melalui
KADIS Kehutanan Sumut agar proaktif mengkordinasikan pengusutan kasus ini
bersama dengan POLDA SU dan BKSDA SU. Hal ini diperlukan agar masalah ini tidak
bertele-tele dan menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat
khususnya di Labuhan Batu. Demikian disampaikan untuk mendapatkan atensi
dari rekan-rekan Media. Jika ada hal yang kurang jelas silahkan hubungi kami.
Terima kasih. Wassalam, Hardi MuntheDirektur
EksekutifWALHI Sumatera UtaraJl. Sukaria No.19 (stm) Medan 20146Tel/Fax : 061-
455 34 30Email : walhisumut@telkom.net atau walhisumut06@yahoo.comHP. 0812 641
6466
Dari Perang Sunggal sampai Lahan
Kuala Namu
Oleh Khaeruddin
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Layaknya wilayah lain di Nusantara,
dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas
tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya
era kepemilikan individual itu.
K Saidin, Kepala Pertanahan
Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus
di Sumatera Utara (Sumut), menulis, kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming
(perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota
Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula
dari karut-marutnya sengketa tanah di Sumut.
Nienhuys adalah orang yang
memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang
galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini.
Berawal dari keberhasilan Nienhuys
inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara
mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan
kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka
perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
Menurut Saidin dalam bukunya, sultan
atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang
waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum
adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia
Timur.
Ahli hukum agraria dari Universitas
Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan
Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah
konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
"Seperti juga di wilayah lain
di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas
nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama
rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria
Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah," papar Yamin.
Konsep hukum agraria Barat yang
dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung
dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya.
"Perusahaan perkebunan ini
menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat
kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai
terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas
tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat,"
ujarnya.
Perang Sunggal
Sejarah mencatat, apa yang dilakukan
Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta
asing menuai konflik berdarah.
Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud
Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari
Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan,
sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli
Maschapij.
Pemberian tanah ini tanpa melalui
perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga
menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat
Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan
Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat
Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun
waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah
ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa
tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat
yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak
ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan
perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak
merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan.
Ketika Jepang menjadi penguasa di
tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka,
negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumut, lanjut Yamin, setelah
terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah
oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan
swasta asing oleh masyarakat.
Masyarakat mengenal kartu registrasi
penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di
Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan
tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti
kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan
Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat.
Hanya saja, kata Yamin, surat
tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya.
Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan
kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan
sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun
sertifikat hak guna pakai.
"Namun, yang terjadi sebelum
ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang
ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi
masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang
menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat," katanya.
Mestinya, ujar Yamin, tanah yang
menjadi milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi
milik perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi
milik rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan.
"Di dalam kehidupan yang
sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat
juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka,
seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak," kata Yamin.
Rakyat vs perkebunan
Kebiasaan rakyat yang enggan
memiliki bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru
sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing
menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN).
Masyarakat Deli yang dulunya diberi
hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa
menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka.
Rakyat kemudian menuntut haknya.
Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik
masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II.
Konflik pun meluas, tak lagi antara
masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara
bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas
buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi
dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang.
Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan
(Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan
mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut.
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei
Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan
mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari
HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi
Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan
perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat
Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan
Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT
Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima.
Kedua perusahaan itu menjanjikan
lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah
garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau
memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati
Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka
perkebunan kelapa sawit di hutan register 4.
Namun, janji kedua perusahaan tidak
dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak
kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan
di Kepolisian Daerah Sumut.
Kasus lain adalah sengketa tanah
Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat
yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas
perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar.
Yang mereka garap adalah rawa-rawa
yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang
disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap
diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. "Mereka yang mencoba menuntut
kembali haknya dicap komunis," ujar Mangaliat.
Penguasaan hutan
Jenis sengketa tanah lain yang juga
terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah
gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini
terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun.
"Sebanyak 56 petani ditangkap
polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah
gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat
pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan
operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu
membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat
diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut
yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal
istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi
warga.
"Pengelolaan hutan bisa
sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah
menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan
durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu,
daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau
pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti
sawit dan karet," kata Hardi
Jumat, 16 Juli 2010 | 14:14:31
PT
Bangun Citra Jaya Mandiri Laporkan Penipuan Kepada Polda Sumut
MEDAN
(EKSPOSnews): PT Bangun Citra Jaya Mandiri, perusahaan minyak kelapa sawit di
Lampung melaporkan PT SSNI ke Polda Sumatra Utara terkait dugaan penipuan jual
beli pabrik kelapa sawit di Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten
Labuhanbatu Selatan, Sumut.
Pengaduan
itu tercantum dalam surat bernomor Pol:STPL/195/V/2010/Dit Reskrim Polda Sumut
yang diterima penyidik Aiptu M. Rose Harahap.
Direktur
Operasional PT Bangun Citra Jaya Mandiri Abdilah Zaki di Medan, Jumat 16 Juli
2010, mengatakan, dugaan penipuan itu berawal ketika pihaknya berencana membeli
pabrik kelapa sawit milik PT SSNI di Kualuh Hulu pada 2008.
Dalam
proposal yang diajukan PT SSNI disebutkan pabrik kelapa sawit itu mampu
memproduksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebanyak 45 ton per jam.
Dari
perundingan yang dilakukan, disepakati harga pembelian pabrik kelapa sawit itu
sebesar Rp70 miliar dengan perincian Rp10 miliar dibayar melalui rekening PT
SSNI dan sisanya di Bank Syariah Mandiri Cabang Rantau Prapat.
Seluruh
perjanjian jual beli dan kesepakatan pembayaran itu dibuat di hadapan notaris
Ilyas Zaini yang berkantor di Jakarta pada 25 Juli 2008.
Disepakati
juga bahwa pihaknya harus membayar uang muka sebesar Rp5 miliar jika berniat
membeli pabrik kelapa sawit tersebut.
"Karena
memang berminat, kami akhirnya membeli perusahaan itu dengan uang muka Rp1
miliar dari Rp5 miliar yang disepakati," kata Zaki.
Ia
menambahkan, ketika melakukan pengecekan di lapangan, ditemukan pabrik kelapa
sawit itu sudah tidak memiliki aktivitas karena telah berhenti berproduksi
sekitar satu tahun.
Namun,
karena telah memberikan dana sebesar Rp1 miliar, transaksi pembelian itu tetap
dilanjutkan dengan kesepakatan sisa uang muka Rp4 miliar akan diserahkan jika
pabrik tersebut kembali beroperasi.
Untuk
mengaktifkan operasional pabrik itu, PT Bangun Citra Jaya Mandiri terpaksa
harus mengeluarkan dana sebesar Rp3,7 miliar untuk melakukan renovasi dan
membeli berbagai peralatan.
Kemudian,
setelah pabrik kelapa sawit itu dioperasionalkan, pihaknya mengetahui jika
tempat itu hanya mampu memproduksi 27 ton CPO per jam, bukan 45 ton sebagaimana
proposal PT SSNI.
Dengan
kemampuan produksi yang tidak sesuai harapan dan sulit membiayai perusahaan
itu, pihaknya mengajukan permohonan peninjauan ulang harga pembelian pabrik
kelapa sawit itu kepada PT SSNI.
Dalam
perundingan yang dilakukan, disepakati beberapa poin keputusan seperti pihaknya
akan mencari investor baru dan aset jaminan dalam transaksi tersebut diizinkan
untuk dijual, baik secara sukarela maupun lelang.
Kesepakatan
itu dibuat di depan perwakilan Bank Syariah Mandiri sebagai tempat pembayaran
sisa dana pembelian pabrik kelapa sawit tersebut pada 20 Februari 2009.
Namun,
pada 16 April 2010 orang-orang suruhan PT SSNI melakukan pengusiran paksa
terhadap karyawan dan staf PT Bangun Citra Jaya Mandiri yang sedang bekerja di
pabrik kelapa sawit itu.
"Karena
pengusuran menggunakan preman, karyawan kami hanya bisa pasrah," kata
Zaki.
Awalnya,
kata dia, pihaknya membuat laporan ke Polres Labuhanbatu tetapi tidak
ditanggapi dengan alasan pabrik kelapa sawit itu masih dianggap milik PT SSNI.
"Akhirnya
kami membuat laporan pengaduan ke Polda Sumut agar kasus ini bisa diselesaikan
dengan adil," kata Zaki.
Anehnya, katanya, berbagai aset yang
dibeli PT Bangun Citra Jaya Mandiri sempat hilang dari pabrik kelapa sawit itu
ketika pengusiran paksa tersebut dilakukan.
"Namun ketika kasus itu
dilaporkan ke polisi, barang-barang itu ada lagi di pabrik," katanya.
Kasat II/Bidang Ekonomi Direktorat
Reskrim Polda Sumut AKBP Alberd Sianipar yang dihubungi mengatakan, pihaknya
akan menyelidiki dulu pengaduan yang disampaikan PT Bangun Citra Jaya Mandiri.
Ketika dipertanyakan tentang
kemungkinan memeriksa pimpinan PT SSNI, Alberd Sianipar menyatakan pihaknya
akan fokus dalam menyelidiki pengaduan itu terlebih dulu.
"Nanti kan mungkin saja
prosesnya kesana," kata Alberd. (ant)
SUARA
PEMBARUAN DAILY
Tuntaskan
Kasus Perusakan Hutan di Labuhan Batu
[MEDAN]
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jen-deral (Pol) Sutanto diminta
mengusut tuntas laporan dugaan perambahan, penguasaan maupun perusakan hutan di
Register 4/KL yang diperkirakan mencapai 7000 hektare (ha) di Desa Sukarane dan
Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh
Leidong, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara (Sumut).
Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut,
Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) dan Lentera menyampaikan hal tersebut, melalui
surat yang dilayangkan ke Markas Besar Polri di Jakarta. Surat itu dengan
tembusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Agung Laksono, Kejaksaan Agung, Gubernur Sumut, Samuel Pardede, dan lainnya.
"Kami
sangat mendukung Polri ketika dapat menangani dugaan kasus perambahan hutan
oleh Adelin Lis, Direktur Utama PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI),
meski perusahaan itu mengantongi izin hak guna usaha (HPH)," kata Direktur
Eksekutif Walhi Sumut Hardi Munthe, sepulangnya dari Markas Polda Sumut, akhir
pekan lalu.
Namun,
Walhi Sumut mempertanyakan kembali komitmen tersebut, apakah polisi memang
dapat menangani PT Sawita Ledong Jaya, yang diduga tidak memiliki izin HPH,
tidak memiliki Amdal setelah mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tapi bisa beroperasi di Labuhan Batu, sampai tuntas. Menurut Hardi, kasus itu
dapat dijerat pidana.
Bersama
Sekretaris Eksekutif Badan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu) Mangaliat Simarmata,
Direktur Eksekutif KPS Sahat Lumbanraja, Sekretaris Eksekutif Lentera Diapari
Marpaung dan Herwin Nasution, Hardi menegaskan, beberapa aspek hukum yang tidak
dipenuhi PT Sawita Ledong Jaya terdapat pada Undang- Undang Nomor 41 Tahun
1999, tentang Kehutanan.
Selain
itu, aspek hukum lainnya berdasarkan UU No 14 Tahun 2004, menyangkut
perkebunan, dan UU No 23 Tahun 1997, menyangkut lingkungan hidup. Kedatangan
empat perwakilan lembaga masyarakat itu hendak menemui Kapolda Sumut, Irjen Pol
Nuruddin Usman. Namun, mereka diterima oleh AKBP Fauzi, Sekpri orang nomor satu
di Polda Sumut tersebut.
"Kedatangan
kami ke Polda ini sudah yang keempat kalinya. Namun, kasus yang dilaporkan,
saat dipertanyakan, jawabannya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya,"
kata Mangaliat Simarmata. Menurut Mangaliat, saat mendengar jawaban Fauzi
sesuai arahan Kapolda Sumut, polisi akan melanjutkan penanganan kasus tersebut
sampai tuntas.
"Sesuai
dengan petunjuk Kapolda, kasus itu tetap akan ditangani. Polda akan menggelar
perkara tersebut, tidak menghentikan laporan itu begitu saja. Hasilnya nanti
diketahui dalam gelar perkara, apakah PT Sawita Ledong Jaya, perusahaan yang
dilaporkan itu, terbukti bersalah atau tidak," ujar Mangaliat mengulangi
ucapan Fauzi, sesuai dengan arahan Kapolda Sumut.
Menghentikan
= Menurut Mangaliat, sangat ironis bila kasus itu tidak dapat ditangani bila
dibandingkan dengan perusahaan pemegang HPH seperti PT Mujur Timber Group.
Soalnya, berdasarkan surat Badan Planologi Kehutanan No S.293/VII-PW/2005,
menyatakan hutan yang dikuasai PT Sawita Ledong Jaya merupakan kawasan hutan,
dikelola tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan dari pejabat ber- wenang,
sesuai surat keputusan bersama (SKB).
SKB
itu melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional, sesuai dengan No 364/Kpts - II/1990, No 519/Kpts /HK.050/ 7/1990 dan
No 23 - VIII - 1990, menyangkut ketentuan pelepasan kawasan hutan serta
pemberian HGU. Hal ini untuk pengembangan usaha pertanian. "Setidaknya,
polisi dapat menghentikan pengrusakan itu," ungkapnya.
Kuasa
hukum PT Sawita Ledong Jaya, Coki TN Sinambela mengharapkan, Walhi bersama
lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar tidak banyak mencampuri penanganan kasus
oleh polisi atas PT Sawita Ledong. Menurutnya, lebih baik mereka yang
berperkara masalah hukum, menyerahkan kasus itu kepada polisi.
"Lebih
baik kita yang sudah berperkara ini mempercayai penanganan hukum, sesuai yang
diharapkan. Nantinya akan terungkap, apakah PT Sawita Ledong memang terbukti
bersalah atau tidak. Nanti hasilnya akan diketahui, jadi lebih baik pihak yang
keberatan tidak asal ngomong," kata Sinambela.Ia menegaskan pihaknya akan
menuntut balik empat lembaga tersebut. [AHS/W-8]
Dilintasi Truk Bermuatan 40 ton,
Jembatan di Jalan Lintas Kualuh Terancam Ambruk
Posted in Daerah by Redaksi on
Agustus 14th, 2007 sampai sekarang tidak ada kepdulian ????
Aekkanopan
(SIB)
Empat
jembatan di jalan lintas Kualuh, masing-masing jembatan parit alam yang
berjarak beberapa meter dari PKS PT Sonomartani Sawita Namora Int (PT SSNI),
Jembatan Simpang Jambur, dan jembatan simpang transmigrasi lama ketiganya di
Desa Sonomartani Kecamatan Kualuhhulu serta jembatan titi payung di Dusun
Pulogambut, Desa Sukaramebaru Kecamatan Kualuhhulu, terancam ambruk akibat
bebas dilintasi truk roda 10 bermuatan 20 ton padahal kelas jalan dan
jembatan hanya khusus kenderaan bertonase 8 ton.
Pantauan
SIB Sabtu (11/8), terjadi antrean truk di jembatan parit alam karena 1 unit
truk Colt Diesel hampir terperosok masuk ke lobang di sekitar jembatan yang
kondisinya memprihatinkan. Kondisi jembatan terparah dijumpai di jembatan
simpang Jambur dan jembatan simpang transmigrasi lama.
Hal
itu terjadi diduga karena bebasnya truk roda 10 melintas, kata warga di sekitar
lokasi jembatan. Apabila tidak segera diperbaiki tidak tertutup
kemungkinan dalam waktu dekat jembatan itu akan ambruk,†imbuh warga.
Kita
juga prihatin setelah melihat jembatan titi payung, kata Wakil Ketua PAC PDI-P
Kecamatan Kualuh selatan Untung Hardianto yang turut bersama SIB saat itu.
Jembatan yang baru rampung dikerjakan beberapa bulan lalu berbiaya ratusan juta
rupiah dari APBD Labuhnbatu TA 2006 oleh kontraktor dari Rantauprapat, terancam
ambruk karena dari 115 batang besi baja yang konstruksinya dilintangkan dengan
cara dilas sudah ada yang berlepasan.
Sedikitnya
20 batang baja yang dilas di sisi jembatan tidak menyatu lagi dengan galang
besi yang letaknya di sisi kiri kanan jembatan sehingga bila kendaraan melintas
terdengar suara nyaring. Agar kondisi jembatan tidak bertambah parah, untung
berharap instansi terkait segera tanggap.
Diyakininya
penyebab rusaknya jembatan itu karena truk roda 10 bermuatan 20 ton ke atas
bebas melintas padahal jembatan itu hanya boleh dilalui kenderaan bertonase
maksimum 8 ton sesuai Perda. (CHF/m)
July 11, 2007 ·
Medan, 5 Juli 2007Release Pers
:
Kepada Yth :REKAN-REKAN
MEDIAdi Medan Salam hijau, Merebaknya kasus
PT.Sawita Leidong Jaya (SLJ) yang mencuat baru-baru ini hendaknya jangan
disikapi secara tidak proporsional oleh POLDA Sumatera Utara. Belakang di
beberapa media massa terbitan Medan yang diamati nampaknya POLDA Sumut seakan
menjadi semacam Humas (hubungan masyarakat) PT.SLJ. Kerap kali POLDA
Sumut mengungkapkan penegasannya bahwa PT.SLJ memiliki ijin dan perkebunan
tersebut adalah investasi yang seolah-olah jangan diganggu oleh siapapun. Lalu
tudingan POLDA sering diarahkan kepada Petani yang mengklaim sebagian lahan
yang berkonflik atau dikuasai oleh PT.SLJ. Justru pengaduan kami baru-baru ini
ke POLDA Sumut tidak digubris, padahal secara resmi kami sudah laporkan dugaan
tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh corporasi PT.SLJ di kawasan hutan
register 4/KL (kawasan hutan lindung dan konservasi), ujar Hardi Munthe
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara di Medan pada kamis 5 Juli 2007. Lima
(5) LSM/NGO seperti BAKUMSU, LENTERA, KPS, OPPUK didampingi oleh WALHI Sumatera
Utara telah berulangkali menyerahkan secara resmi data dan fakta penguasaan,
pendudukan dan pengusahaan kawasan hutan lindung dan konservasi yang mencapai
7000-an hektar di Kecamatan Kualuh Hulu (khususunya di Desa Sukarame dan
Sonomartani) dan Kec. Kualuh Leidong (Desa Air Hitam) tanpa ijin dari pejabat
berwenang yang menangani kehutanan. Dan mengapa kami melaporkan ini ke MABES
POLRI melalui Bapak Komjen Pol. Bambang H.Danuri karena kami nilai POLDA Sumut
tidak proaktif dan tidak serius menanggapi laporan yang jelas-jelas terjadi
setidaknya sejak tahun 1999 oleh corporasi PT.SLJ di lokasi dimaksud, tambah
Hardi. Hal yang dapat kami catat, nampaknya Kepolisian dalam hal ini POLDA
Sumut bersikap ambivalen atau mendua, satu sisi POLDA SU (kepolisian)
menunjukkan keseriusannya dalam berbagai kasus perambahan yang melibatkan
corporasi/perusahaan seperti kasus PT.Mujur Timber Group di kawasan hutan
Madina, kasus register 40 (DL.Sitorus) namun di sisi lain tidak proaktif dan
kurang merespon dalam kasus indentik/serupa yang melibatkan corporasi
seperti PT.SLJ yang mana bukti atau petunjuk awalnya sudah kami
ajukan. POLDA seharusnya sigap dan mengambil tindakan konkrit untuk mengusut
dan memproses kasus ini. Malah yang terjadi dalam beberapa kali kunjungan kami
ke MAPOLDA SU dalam rangka melaporkan kasus ini kelihatan POLDA SU buang badan
dan lempar bola. Sudah 3 kali kami ke POLDA melaporkan kasus ini namun sangat
sulit diterima pengaduan kami, padahal tindak pidana semacam ini bukanlah delik
aduan, sesungguhnya Aparat Hukum yang harus proaktif mengusut kasus semacam ini
apalagi bukti permulaan sangat cukup karena dilengkapi dengan dokumen-dokumen
pendukung yang kami (dan rekan-rekan) yakini sangat membantu Aparat Hukum untuk
mengusut kasus ini. Justru kenapa POLDA SU malah kelihatan sangat serius
mengusut dan menangkapi Petani dari Kelompok Tani Penghijauan yang diadukan
oleh PT.SLJ dengan alasan pengerusakan tanaman sawit padahal perkebunan sawit
tersebut berada di kawasan hutan register 4/KL yang belum memiliki ijin
pelepasan kawasan dari Menhut, tegas Hardi. Perlu diketahui bahwa sesuai
dengan Surat Badan Planologi Kehutanan No. S.293/VII-PW/2005 tertanggal 21
April 2005 yang secara jelas menyatakan bahwa kawasan yang dikuasai dan
diusahai PT. Sawita Leidong Jaya adalah kawasan hutan register 4/KL dan belum
memiliki ijin pelepasan kawasan dari pejabat yang berwenang sesuai SKB (surat
keputusan bersama) Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN
No.364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/1990, No.23-VIII-1990 tentang
Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk
Pengembangan Usaha Pertanian. Sehingga atas dasar ini seharusnya sudah harus
ada tindakan hukum konkrit untuk menghentikan penguasaan kawasan hutan lindung
tanpa ijin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Kehutanan
karena menyangkut kawasan hutan lindung dan konservasi. Selain ijin pelepasan
kawasan dari Menhut yang belum dimiliki, PT.SLJ juga belum memiliki ijin
kelayakan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan hidup) karena sesuai UU
No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup maka kegiatan semacam ini wajib dilengkapi
dengan ijin AMDAL. Kami sudah mempertanyakan ijin kelayakan AMDAL ini kepada
Menteri Lingkungan Hidup, Bapedalda Sumatera Utara dan Bapedalda Kab.Labuhan
Batu baik melalui surat maupun secara langsung. MNLH dan Bapedalda memang belum
membalas surat kami tersebut akan tetapi informasi yang kami dapatkan secara
lisan dari salah seorang pejabat di BAPEDALDA Sumut (Ir. RS) bahwa pihak mereka
belum pernah mendengar atau menangani ijin AMDAL yang namanya PT.Sawita Leidong
Jaya. Hal yang sama juga WALHI Sumatera Utara belum pernah mendengar atau
mengetahui ada ijin AMDAL PT.SLJ. Secara logika tidak mungkin diberikan ijin
AMDAL kalau ijin penggunaan kawasan hutan lindung dan konservasi belum
diberikan. Selanjutnya ini berarti PT.SLJ terindikasi kuat belum memenuhi
persyaratan ijin sesuai peraturan yang belaku. Jangan seolah-olah PT.SLJ sudah
kantongi ijin lokasi atau prinsip dari Bupati atau ijin perkebunan lantas
dengan mudah menguasai dan menguasahai kawasan hutan lindung dan konservasi.
Jika memang PT.SLJ ingin berinvestasi maka wajib patuhi dan taati prosedur dan
perudangan yang belaku, jika tidak maka semua orang bisa melakukan hal yang
sama dengan mudah. Apakah yang begini yang namanya investasi yang harus
dilindungi? Kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi di Sumatera Utara
dan banyak kasus-kasus seperti ini tidak muncul ke permukaan. Sepatutnya hal
semacam ini dijadikan perhatian serius semua instansi yang terkait mulai dari
Menhut, Kapolri, Dinas Kehutanan Sumut , Bapedalda Sumut, POLDA Sumut, BKSDA (balai
konservasi sumber daya alam, karena menyangkut kawasan konservasi) dan aparat
terkait lainnya, hukum harus diperlakukan adil dan Aparat Hukum jangan
ambivalen, desak Hardi Munthe. Dengan ini WALHI Sumatera Utara kembali
mendesak Kapolri melalui KAPOLDA SU untuk proaktif merespon laporan pengaduan
kasus PT.SLJ yang dilakukan oleh LSM/NGO dan kepada Menteri Kehutanan melalui
KADIS Kehutanan Sumut agar proaktif mengkordinasikan pengusutan kasus ini
bersama dengan POLDA SU dan BKSDA SU. Hal ini diperlukan agar masalah ini tidak
bertele-tele dan menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat
khususnya di Labuhan Batu. Demikian disampaikan untuk mendapatkan atensi
dari rekan-rekan Media. Jika ada hal yang kurang jelas silahkan hubungi kami. Terima
kasih. Wassalam, Hardi MuntheDirektur
EksekutifWALHI Sumatera UtaraJl. Sukaria No.19 (stm) Medan 20146Tel/Fax : 061-
455 34 30Email : walhisumut@telkom.net atau walhisumut06@yahoo.comHP. 0812 641
6466
Dari Perang Sunggal sampai Lahan
Kuala Namu
Oleh Khaeruddin
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Layaknya wilayah lain di Nusantara,
dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas
tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai
dimulainya era kepemilikan individual itu.
K Saidin, Kepala Pertanahan
Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus
di Sumatera Utara (Sumut), menulis, kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming
(perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota
Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula
dari karut-marutnya sengketa tanah di Sumut.
Nienhuys adalah orang yang
memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang
galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini.
Berawal dari keberhasilan Nienhuys
inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara
mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan
kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka perkebunan
dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
Menurut Saidin dalam bukunya, sultan
atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang
waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum
adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia
Timur.
Ahli hukum agraria dari Universitas
Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan
Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah
konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
"Seperti juga di wilayah lain
di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas
nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama
rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria
Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah," papar Yamin.
Konsep hukum agraria Barat yang
dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung
dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya.
"Perusahaan perkebunan ini
menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat
kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai
terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas
tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat,"
ujarnya.
Perang Sunggal
Sejarah mencatat, apa yang dilakukan
Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta
asing menuai konflik berdarah.
Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud
Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari
Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan,
sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli
Maschapij.
Pemberian tanah ini tanpa melalui
perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga
menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat
Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan
Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat
Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun
waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah
ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa
tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat
yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak
ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan
perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak
merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan.
Ketika Jepang menjadi penguasa di
tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka,
negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumut, lanjut Yamin, setelah
terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah
oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan
swasta asing oleh masyarakat.
Masyarakat mengenal kartu registrasi
penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di
Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan
tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti
kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan
Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat.
Hanya saja, kata Yamin, surat
tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya.
Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan
kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan
sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun
sertifikat hak guna pakai.
"Namun, yang terjadi sebelum
ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang
ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi
masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang
menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat," katanya.
Mestinya, ujar Yamin, tanah yang menjadi
milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik
perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik
rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan.
"Di dalam kehidupan yang
sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat
juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka,
seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak," kata Yamin.
Rakyat vs perkebunan
Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki
bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah
ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing menjadi perusahaan
perkebunan negara (PTPN).
Masyarakat Deli yang dulunya diberi
hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa
menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka.
Rakyat kemudian menuntut haknya.
Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik
masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II.
Konflik pun meluas, tak lagi antara
masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara
bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas
buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi
dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang.
Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan
(Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan
mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut.
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei
Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan
mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari
HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi
Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan
perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat
Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan
Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT
Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima.
Kedua perusahaan itu menjanjikan
lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah
garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau
memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati
Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka
perkebunan kelapa sawit di hutan register 4.
Namun, janji kedua perusahaan tidak
dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak
kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan
di Kepolisian Daerah Sumut.
Kasus lain adalah sengketa tanah
Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat
yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas
perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar.
Yang mereka garap adalah rawa-rawa
yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang
disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap
diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. "Mereka yang mencoba menuntut
kembali haknya dicap komunis," ujar Mangaliat.
Penguasaan hutan
Jenis sengketa tanah lain yang juga
terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah
gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini
terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun.
"Sebanyak 56 petani ditangkap
polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah
gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat
pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan
operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu
membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat
diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut
yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal
istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi
warga.
"Pengelolaan hutan bisa
sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah
menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan
durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu,
daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau
pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti
sawit dan karet," kata Hardi