Senin, 14 November 2011

PT SONOMARTANI NI

Pimpinan PT Sono Martani Namora Intermasional Disidang
Tribun Medan - Rabu, 27 April 2011 22:16 WIB
Share |
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Pimpinan PT Sono Martani Namora Internasional (SMNI) Muhammad Jafar, diseret ke meja hijau oleh rekan bisnisnya, Abdul Rahman, Dirut PT Bangun Jaya Citra Mandiri. Muhammad Jafar dituduh menggelapkan barang-barang pabrik yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp12,6Miliar.

Abdul Rahman, dalam keterangannya sebagai saksi di persidangan di PN Medan yang dipimpin majelis hakim diketuai Junilawati SH, Rabu (27/04/2011), mengatakan, dirinya sudah tiga tahun berhubungan bisnis dengan terdakwa. Karena terlilit kredit macet di Bank Syariah Mandiri sebesar Rp60 miliar, terdakwa menawarkan pabrik kelapa sawitnya yang berada di Aek Kanopan.

"Saya pun tertarik membeli pabrik itu karena dibilang terdakwa kapasitasnya 45 ton dan tanahnya berstatus HGU. Saya membeli pabrik itu seharga Rp70 miliar,"terangnya di persidangan.

Setelah setuju untuk membeli pabrik itu, saksi membayar dengan total Rp5 miliar dan memberi jaminan harta tak bergerak senilai Rp20 miliar ke Bank Syariah Mandiri agar dapat mengoperasikan pabrik itu. Saksi juga harus melunasi kredit macet terdakwa dalam tempo 6 bulan. "Kalau wan prestasi uang yang telah saya setorkan tidak dikembalikan,"katanya.

Namun, saat saksi mengajukan kredit ke bank lain, permohonannya ditolak karena kapasitas pabrik hanya 27 ton dan status tanahnya hutan lindung bukan Hak Guna Usaha (HGU).  Setelah permohonannya ditolak, saksi menjalankan pabrik dengan sistem bagi hasil dengan Bank Syariah Mandiri. "Selama 20 bulan saya jalankan pabrik dengan memberikan bagi hasil. Total Rp1,2 miliar saya setor ke Bank Syariah Mandiri,"ungkapnya.

Di luar dugaan saksi, pada 16 April 2010 saat dirinya bepergian ke luar negeri, terdakwa mengerahkan sedikitnya 40 orang menyerang dan menyerobot pabrik secara paksa. Akibatnya, pabrik berhenti beroperasi dan 120 karyawan tidak bekerja.

Setelah pabrik dikuasai terdakwa, saksi kemudian bermaksud mengambil sisa minyak dari dalam pabrik sebanyak 343 ton. Namun, yang bisa diambil hanya 243 ton sementara 130 ton sisanya tidak bisa dipakai lagi karena sudah bercampur lumpur. Selain itu, terdakwa juga telah menjual kernel yang ada dalam pabrik.

"Saya sudah hancur-hancuran ditipu terdakwa bu hakim, uang dan harta saya ludes. Tapi, sakit hati saya terdakwa tidak ditahan sampai sekarang,"ujar saksi.

Selain Abdul Rahman, persidangan kemarin juga mendengarkan keterangan Abdillah Rizaki, Direktur Operasi PT Bangun Jaya Citra Mandiri dan Abu Bakar, karyawan di perusahaan itu.(Irf)

PT NAGALI JAYA

MedanBisnis – Aek Kanopan. PT Nagali Jaya yang berlokasi di Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), tanpa izin dan belum mengantongi hak guna usaha (HGU), telah menguasai kawasan hutan (hutan register 4/KL) seluas lebih kurang 1.000 hektare.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Kesejahteraan Masyarakat Sumut (LKKM-SU), Daniel Marbun yang juga pengurus Konsorsium Peduli Hutan dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara (KPHLH-SU). KPHLH-SU di dalamnya tergabung beberapa organisasi di antaranya LKKM-SU) dan Sentra Wahana Advokasi Kebijakan Indonesia (SWAKA – Indonesia).

“Sesuai data yang kami himpun, bahwa PT Nagali Jaya itu telah membuka usaha perkebunan kelapa sawit tanpa ada izin, HGU dan IUP (Ijin Usaha Perkebunan) dari instansi yang berwewenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan itu telah melanggar UU No 18/2004 tentang Perkebunan jo Peraturan Pemerintah (PP) No 40/1996 dan Permentan No 26/2007 serta UU No 41/1999 tentang Kehutanan,” kata Daniel Marbun kepada MedanBisnis, baru-baru ini di Aek Kanopan.

Daniel mengatakan melalui KPHLH-SU pihaknya juga telah menyurati pihak terkait di antaranya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labura, Badan Pertanahan Nasional (BPN), pihak Kehutanan baik kabupaten, provinsi maupun pusat termasuk perusahaan sendiri. Pihaknya menyurati berbagai pihak karena perusahaan tersebut dinilai telah melanggar peraturan yang berlaku dan merusak ekologi, merugikan masyarakat banyak terlebih masyarakat di sekitar perkebunan tersebut.

“Masih banyak masyarakat terutama petani di Labura yang tidak memiliki tanah. Sedangkan pemerintah membiarkan pengusaha menguasai lahan dengan sewenang-wenang tanpa ada izinnya dan bahkan pajak perusahaan itupun tentunya dipertanyakan apakah ada atau tidak, berhubung karena memang izinnya juga tidak jelas.

Padahal pemerintah seharusnya bisa mengalokasikan tanah tersebut kepada petani dengan mensinergikan program kehutanan agar tetap terjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup,” jelas Daniel.

Namun sangat disayangkan, wartawan yang berusaha menemui menejer PT Nagali Jaya, Pargaulan Sitorus ke kantor perusahaan itu, Jumat (5/8) yang beralamat di Desa Sonomartani, sedang tidak ada ditempat. Saat dihubungi lewat telephone genggam dan pesan singkat (sms) Pargaulan Sitorus mengaku tidak bisa bertemu karena sibuk dan tidak bersedia dikonfirmasi terkait status lahan perusahaan itu. “Ndak bisa pak” smsnya berselang Pargaulan Sitorus mengakhiri pembicaraan dengan wartawan lewat telepon genggam.

Tetapi menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Labura, melalui Kabid Perkebunan, Ponirin, beberapa bulan lalu pernah mengatakan bahwa PT Nagali Jaya tersebut memang tidak memiliki HGU layaknya seperti perusahaan perkebunan lainnya yang telah mematuhi peraturan yang berlaku. (ricardo simanjuntak)



 100 Ha Lahan Warga Transmigran Dikuasai PT.Nagali

Jumat, 23 September 2011 | 15:50:46
Labura-Warga transmigrasi yang tinggal di desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara ( Labura) mengaku bahwa sebahagian lahan yang seharusnya diperuntukkan kepada 700 KK ( kepala Keluarga) warga transmigrasi dari pulau jawa beserta untuk anak cucunya, sebahagian telah dikuasai oleh PT.Nagali

Menurut salah seorang Warga Transmigran Jamalik ( …) yang merupakan warga
transmigrasi dari Wonosobo, Jawa tengah, kepada wartawan di rumahnya Sabtu
(17/9), di Desa Sonomartani, mengatakan, bahwa ada sekitar 1100 (seribu
seratus) hektar lebih lahan transmigran yang telah dikuasai oleh PT. Nagali
hingga sekarang.

Diceritakannya, para warga trans yang sekarang berada di Desa Sonomartani
tersebut didatangkan dari Pulau Jawa diantaranya dari Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Jawa Barat, lewat program Departemen Transmigasi Indonesia pada
tahun 1973. Dimana masuknya warga trans untuk gelombang besar pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1973 dengan kode proyekyaitu 7374, sebanyak 200 orang. Mereka dikirim dengan 2 tahap yaitu 100 orang pertahap / bulannya. Kemudian gelombang besar kedua dengan tahunanggaran atau kode proyek 7475 sebanyak 500 kk dengan pengiriman 5 tahap. Dan bahkan Jamalik sendiri mengaku sebagai ketua rombongan dan bahkan pernah mendapat pelatihan dari pemerintah saai itu terkait pengembangan pertanian.

Lanjutnya, pemerintah khususnya departemen transmigrasi awalnya memberikan
“angin sorga “ kepada warga bahwa tempat yang mereka tuju sangat bagus,
lahannya subur, sawah sudah dicetak lengkap dengan irigasi, kemudian
perumahan yang cukup bagus untuk dihuni lengkap dengan fasilitas sekolah
rumah, ibadah lapangan dan sebaginya. Sehingga dengan kampanye bohong ini
warga sangat tertarik dan mereka juga diiming imingi jumlah tanah yang luas
lengkap dengan sertifikat.

Diceritakannya, Setelah sampai dilokasi sesuai yang telah dijanjikan
pemerintah sebelumnya,ternyata kondisinya masih hutan dengan tumbangan kayu
yang tidak beres, dan apa yang dijanjikan sewaktu belum datang ternyata
tidak benar. Dan bahkan pertama kali sampai dilokasi belum bisa langsung
menanam tanaman untuk kebutuhan pokok.

Dan untuk itu kami menuntut kepada pemerintah agar diberi jadup ( jaminan
hidup) karena belum bisa menanam dan bahkan juga masih ikut sibuk memboloh
rumah, dan dengan terpaksa mengupah lah sama PT dan pemborong supaya ada
untuk dimakan. Dan menanam pertama dilakukan dengan system kolektif. Namun
karena belum panen, terpaksa kami menuntut perpanjangan jadup selama
setengah tahun, itupun tinggal hanya dikasih beras dan ikan asin” cerita
Jamalik sembari menambahkan, bahwa lahan transmigrasi tersebut juga pernah
ditinjau langsung oleh mantan menteri penerangan, Harmoko pada tahun 1985.*

Mantan tamatan PGSLP ( pendidikan guru sekolah lanjutan pertama) yang
sekarang mengajar di SMP Sonomartani ini juga menjelaskan, bahwa lahan yang
seharusnya milik warga transmigran tersebut dikuasai PT. Nagali pada tahun
sekitar 1986 yaitu pada masa kepala desa Sonomartani pertama, yaitu Untung.
Dimana lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh PT. Rimba Agung untuk
mengambil kayu. Dan sekitar tahun 1986 PT. Nagali menguasai lahan tersebut
sekitar 1.100 hektar yang selanjutnya menanaminya dengan tanaman kelapa
sawit sejak sekitar tahun 1989.

Demikian juga disampaikan Muhammad Arofa ( 41 ) yang merupakan ketua Kopmas (kelompok masyarakat) peduli warga transmigrasi, dirinya mengaku ikut bersama orang tuanya saat pertama kali datang. Menurut sepengetahuannya, total lahan yang direncanakan untuk dialokasikan kepada warga transmigran termasuk lahan cadangannya seluas 11.000 (sebelas Ribu) hektar, yang terdiri dari rincian, 400 hektar untuk hutan suaka dan 300 hektar untuk transmigrasi local ( transmigrasi GKPI) dan sekitar 10.000 hektar lebih untuk dikelola warga transmigrasi yang datang dari pulau Jawa termasuk cadangannya untuk anak cucunya.

Lahan yang di HPL ( hak pelepasan lahan) pertama kali pada tahun 1978
seluas 1400 hektar untuk 700 KK dengan masing-masing 2 hektar per KK.
Setelah lahan tersebut di kelola, selanjutnya dikeluarkan lagi HPL untuk
lahan cadangan, sehingga total yang di HPL kan menjadi 4600 hektar”.

Namun, menurut Muhammad Arofa sekitar pada tahun 1986 PT. Nagali mengambil lahan tersebut lebih kurang 1.100 hektar termasuk lahan yang sudah di HPL
kan tersebut dan lahan cadangan. Dan yang seharusnya untuk lahan cadangan
lainnya juga ikut dikuasai oleh PT. Abak dan beberapa pengusaha perseorangan lainnya.

Dan sebagai respon dari warga, melalui Kopmas peduli warga Transmigrasi
yang terbentuk sejak tahun 2002 dan beranggotakan lebih kurang 639 KK sudah
pernah memohon kepada pemerintah setempat maupun pihak yang bersangkutan,
diantaranya Bupati Labuhanbatu dan Bupati Labura, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Labura, Badan Pertanahan Nasional Labuhanbatu dan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, dengan menyurati serta menembuskan surat tersebut
ke pihak yang bersangkutan lainnya dari tingkat Provinsi Sumut hingga
pemerintah pusat agar dapat menyelesaikan masalah ini. “Anak cucukan semakin lama semakin besar dan tentunya membutuhkan tanah” jelasnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kesejahteraan Masayarakat ( LKKM), Daniel
Marbun, SH mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan terjadinya pengelolaan
lahan tersebut yang tidak tepat sasaran. PT. Nagali yang sepengetahuannya
tidak memiliki Izin Hak Guna Usaha ( HGU) tersebut tentu sudah melanggar
peraturan terlebih telah menguasai lahan Transmigrasi.

Dan menurutnya, seharusnya pemerintah cepat tanggap. Dan tanah tersebut
sepatutnya segera dikembalikan kepada warga dan sekaligus merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani
lewat pemeberian lahan kepada para petani.

Manager PT. Nagali, Pargaulan Sitorus saat dikonfirmasi, Rabu (21/9)
mengakui bahwa lahan yang dikuasai perusahaan tersebut sejak tahun 1991 lalu seluas 1000 hektar lebih merupakan lahan transmigrasi yang sudah di HPL kan sebelumnya.

Terkait masalah kepemilikan izinnya, pargaulan juga mengakui bahwa PT.
Nagali tersebut tidak memiliki HGU, dan sebelumnya hanya memiliki izin
prinsip. “ memang lahan PT. Nagali itu merupakan lahan transmigran yang
dikuasai sejak tahun 1991. Dan izin yang dimiliki sebelumnya hanya izin
prinsip, sedangkan HGU belum ada “ ujar Pargaulan.

Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Labura
Drs. B. Simorangkir, MPd saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan
membenarkan bahwa pihak transmigran tersebut sudah pernah menyurati pihak.
Namun pihaknya menyarankan warga trans tersebut agar menindaklanjuti ke
Dinas Transmigran Provsu. Dirinya juga mengakui, sampai saat ini pihaknya
tidak memiliki data terkait lahan transmigran tersebut.

Dijelaskannya, bahwa peran serta dari pihak Dinas Sosial, Tenaga kerja dan
Transmigrasi dalam penyelesaian kasus ini tidak ada lagi. Sesuai dengan
tugas dan fungsi, dalam program transmigran pihaknya hanya bertugas untuk
melakukan mulai dari perencanaan, penempatan hingga ke pembninaan selama
lebih kurang lima tahun atau sampai warga trans tersebut bisa mandiri. Namun setelah terbentuk menjadi satu desa defenitif seperti desa Sonomartani tersebut, maka yang menangani masalah mereka itu langsung ditangani Pemda sesuai tata pemerintahan.

Sesuai dengan tugas, kami hanya melakukan mulai perencanaan, penempatan
hingga pembinaan. Namun setelah mandiri dan menjadi satu desa defenitif
sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab Pemda sesuai tata pemerintahan”
jelasnya. ( Renz )

Minggu, 13 November 2011


PEMUNGKIMAN  TRANSMIGRASI    AEK NAETEK
Desa SONOMARTANI10.600 Ha
Kec. Kualuh Hulu , Kab Labuhan Batu Utara ,Medan, Sumatera Utara. Indonesia
1973/1974/1975  2010
Bupati Iwan Maksum tahun 1971 dari Rapat Bupati Seluruh Indonesia  untuk Lokasi Transmigrasi 11.000 Ha, 400 Ha diberikan Transmigrasi Lokal HKPI,
Mendagri Bapak Amir Mahmud
PEMUNGKIMAN  TRANSMIGRASI    AEK NAETEK
 “ Desa SONOMARTANI
10.600 Ha  Kec. Kualuh Hulu , Kab Labuhan Batu Utara ,Medan, Sumatera Utara. Indonesia 1 Project Pemerintah yang diberangkatkan pada tgl 23 Nopember 1973 setelah 3 hari berada di Asrama Lempuyangan, Pemberangkatan diLepas Sri Sultan Hamengkubuwuno IX ( HB IX ) dengan memecahkan Kendi berisi Air Bunga sebagai makna Simbolis, waktu  Rombongan Transmigrasi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berangkat memakai Kereta Api serta memberikan bekal 3/Tiga BESEK (Makanan) untuk setiap Jiwa, rombongan terdiri dari 100 Kepala Keluarga atau terdiri  387 Jiwa dengan didampingi Staf Petugas Lapangan Saudara Dibyo Sumarmo dari Kanwil Tenaga Kerja Transmigrasi,- Setelah sampai di Jakarta rombongan tinggal 1 Minggu di Transito Jakarta Utara yang Kondisinya Buruk telah memberikan pengaruh kejiwaan pada akhir perjalanan sampai tujuan .-

Setelah itu Rombongan diberangkatkan dengan Kapal Barang Kurnia (Dagang) pada tanggal 29 Nopember 1973 dengan waktu tempuh 4 hari 5 malam dalam perjalanan  melalui laut menuju Pelabuhan Laut Belawan Medan Propinsi Sumatera Utara, setelah merapat dan berlabuh di Belawan, Rombongan diangkut menuju Station Kereta Api dengan Bus Budi, Bus Setia sesampainya di Aek Kenopen diterima oleh Tripida atau Muspika istilah pada era itu, yang akhirnya Rombongan ditempatkan di sebuah Gudang Milik Stasiun Kereta Api Membang Muda yang berdebu tentunya tidak layak, tetapi rombongan dengan jumlah 387 orang hanya Pasrah selama 7 hari lamanya, dengan jatah hidup apa adanya memasak Nasi beserta Lauk pauk Ikan Asin, untuk bahan bakar memakai Kayu Bakar milik PJKA yang pada waktu itu Lokomotif Tenaga Uap Air, yang terpenting bagi rombongan adalah bagaimana mengisi perut agar tidak kelaparan melanda rombongan yang berakibat jatuh sakit.-

Kemudian Rombongan Transmigrasi dipindahkan pagi hari berjalan kaki menuju Desa Sukarame, Karena tiba sudah terlalu malam , Rombongan ini dititipkan setiap Kepala Keluarga pada Rumah – Rumah penduduk disekitarnya, yang sepengetahuan Penduduk Desa Sukarame Rombongan ini adalah Karyawan yang akan membuka hutan perawan Tanah Gambut, Esoknya Rombongan dipindahkan ke Bangunan Sekolah Dasar yang belum
dipakai untuk tempat transit, disinilah Beberapa Petugas yang menyertai Rombongan dari Kanwil Transmigrasi DI.Yogyakarta Lansung pergi dengan serah terima kepada petugas Transmigrasi setempat GL. Sitorus

Pagi hari berikutnya [i]Rombongan Transmigrasi 100 Kepala Keluarga dengan 387 orang berangkat menuju  Aek Nabara berjalan kaki ujung perkampungan  calon lokasi Pemungkiman Warga Transmigrasi , setelah tahu keberadaan Lokasi yang ada, semua terhenyak juga terkejut dengan segala duka menanggung Lelah letih dari seluruh perjalanan tahap kesatu.- Bahwa yang di hadapi area adalah Hutan yang digenangi Air dan Tanahnya Lahan Gambut ( Hutan Rawang) kemudian bermalam kembali, dikarenakan Waktu Tempuh tidak mencukupi untuk melewati menuju Daerah Transmigrasi,-
Esoknya kira kira Jam 0800 pagi hari berangkat menunju Kawasan dengan berjalan kaki diatas Kayu kayu Gelondong sebagai pijakan karena rawan tergelincir  atau terjembur, mengingat Kondisi lahan Gambut adalah daerah Rawa yang hidup, sehingga sangat Rawan jika orang sampai terjatuh/terbenam, dimana jarak tempuh berjalan kaki sekitar 6 jam, Akhirnya Rombongan  sampai ketempat tujuan dalam jumlah 100 Kepala Keluarga dengan 387 Jiwa, yang akhirnya harus menempati Rumah Bangunan Bedeng yang apa adanya, Tetapi satu Kepala Keluarga setelah dihitung tidak sampai tujuan dan karena sudah letih kepayahan akan dicari esok hari.-

yang pada akhirnya merupakan peluang dalam penjarahan kayu kayu Hutan oleh Orang orang bersama Oknum pejabat Lintas Terkait, serta perebutan/Perampasan Ladang/Lahan Transmigrasi guna memenuhi kebutuhan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di tahun tahun selanjutnya sampai sekarang dan Masih sedang berlangsung, yang masih  menghatui masyarakat akan keadaan ini
Kemampunan PEMDA-PEMKAB-TINGKAT KEPERCAYAAN RENDAH DI MATA MASYARAKAT ???
Ancaman à Bahaya LATENT
Sampai kami di Undang untuk melihat hal hal yang dianggap layak untuk  dipaparkan pada Tingkat Pusat, Harapan Penduduk Transmigrasi Sonomartani bukan hanya sekedar perhatian dari Pemerintah Pusat, Tetapi satu Jawaban yang Mereka minta “ Apakah Tindakan ke Adilan Perlindungan Sosial, Hukum, juga pembangunan masih dapat sampai di sebuah Desa “ Sonomartani ” atau mereka harus meminta menjadi Emigran ke Negara Lain seperti “ Kanada atau Amerika (USA), dengan catatan bagi mereka tidak ada tujuan meninggakanl atau menanggalkan warga Negaranya,sebagai Warga Negara Indonesia asli, yang mungkim pemerintah sedang sibuk pada urusan masing-masing dalam pembelaan diri, sebagai tanggung jawab moral Norma Etika sopan santun kaidah poltik pemenang Pemilihan Umum 2009-1014, AH bahkan warga berhayal apa iya Pak Susilo serta Pak Boediono mau bertandang dan bermalam disini, Atau Boleh jadi kata Mereka meminta Gubernur DI.Yogya,Jateng dan DKI sudi berkunjung.-

1. Rombongan  Transmigrasi Pertama terdiri 100 Kepala Keluarga dengan jumlah 387 Jiwa, yang sampai kini disebut Trans LAMA, berasal dari Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, Kulonprogo,Sleman,Bantul dan Kota Madya Yogyakarta.-

2,Rombongan Transmigrasi Kedua terdiri dari 100 Kepala Keluarga dengan Jumlah Jiwa 400 Orang, yang sampai kini disebut Trans BARU  yang berasal dari Propinsi Jawa Tengah  dan Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).-

3.Bekal untuk menjalankan Hidup dalam mengatasi Nafkah se Hari-hari tidak ada pertanggungan jawab kebenarannya kepada Seluruh Rombongan 200 Kepala Keluarga yang mencangkup

4.Nama Desa SONOMARTANI DI Tetapkan Tanggal 27 Juli 1979 Oleh Bapak Cokro Sarjono Anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, Dengan Kepala Desa Pertama H.Untung Sumartoyo.- Dan Kepala Desa Terakhir  Prabowo.S tahun 2010

5, DATA PENDUDUK DESA SONOMARTANI Tahun 2010

No
DUSUN
JUMLAH
JENIS KELAMIN


Kepala Keluarga
JIWA
PRIA   
WANITA
ANAK2
Pemilih

01
DS 1
  195
 820
  418
 402
 322
 498
02
DS 2
  186
 640
  333
 307
 195
 445
03
DS 3
  160
 555
  284
 271
 153
 402
04
DS 4
  251
 962
  484
 478
 379
 583
05
DS 5
  218
 824
  434
 390
 289
 535
06
DS 6
  215
 835
  433
 402
 295
 540
07
DS 7
    96
 362
  197
 165
 135
 227
08
DS 8
    86
 382
  202
 180
 155
 227
Jumlah à
1407
5380
2785
2595
1923
3457
DATA  MONOGRAFI DESA SONOMARTANI





        LUAS DESA à 10.600 HECTO ARE  dan BATAS  WILAYAH 
UTARA      Berbatas  dengan Aek Ledong ( Air Hitam )
SELATAN  Berbatas  dengan Sungai Aek Kenopen.-
BARAT      Berbatas  dengan Desa Sukarame Baru.-
TIMUR      Berbatas  dengan Kualuh Hilir/Kualuh Ledong






PEMELUK  AGAMA / RUMAH IBADAH / SEKOLAH DAN  LAIN2


HINDU

PURA
X
MADRASAH
1
BUDHA

WIHARA
X
PONPES
X
ISLAM

MESJID
1
SD
1
KATHOLIK     

GEREJA
1
SMP
1
KRISTEN

GEREJA
1
PUSKEMAS
1
KEPERCAYAAN
Xxxx
LAIN2

KUD
1
BANGUNAN , JALAN, LISTRIK,KOMUNIKASI,KAMTIBMAS
1,Kantor Kepala Desa bersama Balai Warga
2.Kantor Pos dan Unit BRI tidak berfungsi ( Status tidak Jelas)
3.PAM (Tidak Ada)  sangat PERLU, Air Minum Tercemar
4.Kantor Swasta Pengelola Tandan Buah Segar ( Tiga gedung}
5.Jalan Utama Rusak Berat 25 Km dari Tanjung Pasir
6.Jalan Dusun Tanah diperkeras (Perlu Program LOAN)
7.PLN berfungsi Malam Hari ( Siang Warga Pakai GENSET )
8.Komunikasi via HP Provider XL/Telkomsel
9. Radio Signal Normal dan Saluran Televisi via Parabola
10.Perlu dibuatkan SMK Pertanian/Perkebunan.-






























Esoknya Marju Dkk dengan Rasa Sepenanggungan Sependeritaan bersama mencari satu Keluarga yang hilang, yang akhirnya berhasil diketemukan pada Lokasi  Transmigrasi LOKAL GKPI, bersyukur memuji keteguhan kegigihan kebersamaan untuk dapat dikembalikan kepada Rombongan Transmigrasi yang akan menempati Lokasi di Aek Naetek.-

Yang kemudian diputuskan Tinggal di Calon Bangunan Sekolah Dasar yang belum terpakai, yang secara physic sangat meprihatinkan, semua itu dihadapi seluruh rombongan dengan pasrah, karena tidak ada pilihan lagi, jauh dari angan angan yang waktu itu di Sosialisasikan kepada Calon Transmigrasi , bahwa di depan mata mereka adalah Tantangan pergulatan Hidup yang amat tidak mudah untuk mengatasi Cukup Makan, tidak adanya Rumah, apalagi Lahan Pertanian atau Ladang Garapan yang memadai untuk  bercocok Tanam maupun bertani pada waktu yang singkat,-

Semua ini dapat dilihat dan dibaca beberapa wakil warga transmigrasi memberikan Kenangan Tulisan tanpa perlu kami, menambah atau mengurangi. Dari pengamatan di Lapangan sangat Kontras Sekali warna kehidupan antara Slogan Moto, Mungkin Juga Kampanye yang telah Lewat atau akan Datang, Entah namanya Pemilu,Pilkada serta merta Boleh Jadi kata Mereka, Kita dibiarkan Liar untuk Kuat, menjadi Lemah karena sudah Lelah, apapun Pancasila beserta UUD^45 hanya Hapalan di Sekolah setelah itu hanya iIlusi angin Malam pengantar TIDUR, karena Penat bekerja,-
Satu Hari Warga memasang Jerat untuk Babi Hutan,tetapi yang terperangkap adalah Harimau, karena tuntutan perut yang Lapar maka dipotong potong, Tetapi berhadapan dengan Tuntutan Hukum, berkumpulah Aparat Pemerintah karena Harimau Satwa yang dilindungi di Sumatra tinggal 249 Ekor, karena yang satu dimakan Penduduk Trans, Lalu kapan mereka mendatanya ????.-
Bahkan karena daerah Desa Sonomartani dan sekitarnya diliputi Aliran Sungai Besar, Pernah terjadi Penyeludupan Pakaian Bekas asal Malaysia atau Negara Lain, ketika Air Pasang sangat memungkinkan Kerawanan akan hal tersebut, menjadikan Sasaran yang luput dari pengamatan Aparat Penegak Hukum,-
Melihat Topografie, Hydrografie serta Geografis, Jika Pemerintah Jeli dapat memberikan Draft Plan Strategi Pembangunan Terpadu, tanpa mengabaikan Nilai Dasar Kemajuan Manusia (SDM), misal saja Membangun SMK-Perkebunan/Kehutanan/pertanian, Serta Peningkatan Sarana Kesehatan/Jaringan Komunikasi, Pabrik Mini Kelapa Sawit ( TBS yang baik Maximal 10 Jam), serta lain hal.-
Yang Penting mengembalikan Cadangan Lahan Desa Sonomartani, sebagai Modal Asset Tumpuan Titik Kemakmuran yang Menjadi AMANAT Warga Desa dan Laporan ini meminta Pemerintah Pusat Menurunkan Team Terpadu, Jalanpun Karena Pak Harmoko bersafari tahun 1988 baru diperbaiki, Sekarang Parah Sekali,-

Riwayat Perjalanan Transmigrasi
Pendahuluan  : àRiwayat perjalanan transmigrasi ini ditulis oleh saya sendiri.
Nama             : Siti Aminah
Umur             : 20 tahun,    Pekerjaan            : Ibu rumah tangga,       Agama            : Islam
Pendidikan    : SMP ,  Tanggal. Lahir            : 25 Oktober 1990
Alamat          : Dsn. I Purwo Sari Desa Sonomartani Kec. Kualuh hulu,  Kab. Labura (labuhan batu bara)
Untuk menulis riwayat hidup ayah saya yang bernama Hadi Wardoyo dari transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta Kab. Bantul tujuan penempatan Aex Naetek Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhan Batu. Demikian untuk dimaklumi.
Wassalam.
Ayah saya (Hadi Wardoyo) berasal dari anak seorang petani miskin dari Desa Malangan Dukuh (Dusun 13) Desa Srigading Kec. Sanden Kab. Bantul DIY, berangkat dari rumah kediaman tgl 20 November 1973 berkumpul di asrama trans DIY selama 3 hari di Lempuyangan Waras di asrama selama 3 hari, seterusnya berangkat bersama rombongan dari trans DIY 100 kepala keluarga (KK).
Berangkat jam 7 pagi dengan berkendaraan kereta api 1 hari pertama. Pada tgl 23 November 1973 sampai di Jakarta sehabis magrib. Selama berada di asama Trans Jakarta selama 6 hari (29 November 1973) langsung berangkat dengan perjalanan menaiki kapal laut Kurnia menuju Belawan selama 4 hari 5 malam dari perjalanan Belawan menuju stasiun kereta api Aek Kenopen 1 hari lebih.

Selama di stasiun kereta Api Aek kenopen lamanya 7 hari seterusnya perjalanan menuju penempatan dan sementara tidur bersama regu 7 di sekolahan SD Sukarame langsung paginya berangkat menuju penempatan aek naetek. Perjalanan di hitung selama 22 hari semalam dari pemberangkatan sampai tujuan (Jogja – aek naetek) dan sebelum berangkat masuk ke penempatan sementara di beri catu kilang abadi aek kanopan berarti 10 hari lagi menginjak tahun baru 1974. Sebelum perjalanan dari Sukarame menuju trans istirahat atau bermalam di desa aek nabara. Situasi jalan masuk masih memprihatinkan sekali jalan aek nabara, aek naetek sepanjang ± 6 km melewati titik-titik kayu yang terbuat dari tumbangan kayu sambung menyambung sampai ke trans. Jika ada orang yang terpeleset jatuh maka ia akan terbenam sampai sedalam ada karena tanahnya berupa tanah gambut sampai di tempat tujuan trans aek naetek begitu kagetnya tidak sesuai dengan keterangan sewaktu pemberangkatan petugas transmigrasi menerangkan bahwa nantinya udah lengkap rumah serta ladangnya ternyata yang ada tempat penempatan trans tersebut hanya calon-calon rumah (rangka rumah) yang jumlahnya 200 KK baru siap 21 rumah (atau trans lama sekarang) beserta gedung-gedung SD. Akhirnya tiap-tiap 1 rumah ditempati 3-4 keluarga, ngeri deh. Jaminan hidup jumlah dari KK trans berasal dari Jateng dan DIY sebanyak 200 KK untuk menempati rumah yang baru siap 21 rumah. Bayangkan dan renungkan sedih kan!!!

Sambil kita menunggu dan menerima jaminan hidup (catu trans) terpaksa bekerja dengan pemborong bangunan rumah trans untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah saya waktu itu baru berkeluarga (suami – istri) dengan menerima catu perbulan sebanyak 22 ½ kg. dengan rincian kepala keluarga kepada KK 15 Kg istri 7 ½ kg anak 6 Kg catu tersebut berupa beras, minyak makan, minyak tanah, ikan asin. Berjalan 1 tahun warga trans yang 200 KK megadakan demo (unjuk rasa) agar jaminan hidup dilanjutkan sampai 1 ½ tahun cerita ayah orang yang 200 KK tersebut mau unjuk rasa ke Dirjen trans Sumatra Utara di Medan dengan diputuskan oleh petugas trans aek naetek yang jumlahnya 200 KK tersebut diwakili 7 orang untuk menghadap ke kantor Dirjen Transmigrasi Sumut di Medan. Ayah saya tersebut mewakili dari regu 7 (blok 7) sampai jumpai Dirjen Sumut diputuskan kepada 7 perwakilan orang trans tersebut untuk diberikan proyek padat karya yaitu membikin paret-paret pengeringan di lokasi trans tersebut dan menerima 1 bulan 10 Kg beras ditambah dengan bibit-bibit pertanian seperti : ubi, jagung dsb untuk mencukupi meringankan kebutuhan per hari karna putus jaminan hidup (catu terpaksa ayah merantau di luar trans, berarti orang trans janda semua karena ditinggal suami untuk mencukupi kebutuhan hidup kadang-kadang pulang merantau tidak dapat hasil karena situasi pekerjaan dan harga belanjaan padahal di rumah ibu saya (waktu itu saya belum lahir) udah nunggu dari hasil kerja merantau bapak begitulah pedihnya kisah nyata yang dialami oleh ayah saya terpaksa ubu saya mengutang di warung-warung yang ada.
Menginjak tahun 1977 tanah perladangan baru dibagikan masih berupa hutan belantara (hutan rimba) terpaksa kerja sama gotong-royong sama teman-teman untuk mengimas tumbang pembagian masing-masing secara bergiliran. Untuk menerima giliran gotong-royong orang trans masih tetap banyak yang merantau menginjak tahun 1979 serah terima Dirjen transmigrasi Sumut kepada pemda Kab. Labuhan Batu.
Menginjak tahun 1980 baru diadakan pemetaan persawahan dalam waktu tahun 1980 itu juga ayah saya ditunjuk ketua kelompok dalam rangka pembinaan pertanian yang anggota kelompok berjumlah 20 kelompok barulah tahun 1980 ayah saya bisa menikmati fasilitas trans melalui kelompok sebanyak 18 orang yang mendapat nilai prestasi perlombaan pertanian tersebut dipualngka ke Jawa pulang pergi dengan pesawat terbang tujuan daerah masing-masing.
Pada saat tahun 1978 ditunjuk penataran KB di kota Padang Sumatra Barat selama 5 hari dengan perjalanan pulang pergi dengan pesawat terbang! Tahun 1980 baru pertama kali ayah saya menengok tempat kelahiran ayah di Jogja tanpa diikuti istri. Perjuangan ayah saya mulai dari kepala RT tahun 1974 sampai 2006 sekretaris desa. Pahit getir perjuangan sewaktu menjadi Sekdes jarak kerumah kantor desa sejauh 500 m dengan berjalan kaki! Berarti selama tugas berjalan kaki sehari 1000 m x 3 tahun.
Tugas bapak setahun berjalan kaki selama 312 km 3 tahun selama 936 km betapa pahitnya perjuangan bapak saya selama tugas bapak di sekretaris desa menerima sekedar honorarium perbulan Rp. 250.000,- untuk membeli rokok saja tidak cukup, untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai sekarang ibu saya menderes karet di persawahan yang jaraknya lumyan cukup jauh. Itupun kadang kurang mencukupi. Untuk mengusahai tanah hak milik 1 ¼ hektar yang ada di persawahan 7 hektar ditambah pekarangan ¼ hektar.
Sebelum selesai tugas di sekretaris desa terkena menderita penyakit selama 1 ½ bulan. Kebijaksanaan Kades walaupun keadaan sakit namun honorarium masih tetap berjalan. Akhirnya da kesempatan sekretaris desa untuk menjadi pengganti negeri atau di PNS kan namun bapak gagal karena tidak memenuhi persyaratan dan akhirnya sekarang diganti sekretaris yang baru.
Kata Kades ayah saya mau dikasih imbalan jasa tetapi nyatanya NIHIL (kosong). Begitulah kisah pahitnya perjalanan ayah saya dalam mengabdi kepada pemerintah dan bangsa. Terakhir yang paling pahit penderitaan ayah saya hak milik bapak yang mempunyai lahan tanah seluas 8 hektar dikusai oleh PT. Nagari Semangat Jaya. Mengenai sengketa tersebut sedang diproses di Polres Labuhan Batu Sumut. Dan saat ini belum ada kesimpulan keberhasilannya.
Demikian tulisan saya.
Sonomartani 8-8-2010
Dari saya,
Siti Aminah



SEJARAH KEHIDUPAN SAYA DALAM MENGIKUTI ORANG TUA TRANSMIGRASI ANGKATAN : 1975 PENUH PENDERITAAAN YANG TAK KAN PERNAH AKAN TERLUPAKAN, KARNA PEDIH DAN SENSARA Nama : M. Arofah ,-
Alamat : Sonomartani, Kec. Kuala Hulu Kab. Labuhan Batu Utara

Menuturkan sejarah singkat terjadinya mengikuti transmigrasi dari pulau jawa dan menuju pula sumatra utara, pada mulanya transmigrasi ini bukan kemauan orang tua saya, tetapi ini program pemerintah dan orang tua saya diberangkatkan karna mendapat iming-iming yang sangat menggiurkan, karena sudah merasa orang tua saya tidak mampu dan anak banyak, maka orangtua saya terpaksa mendaftarkan diri untuk ikut transmigrasi tersebut, iming-iming itu adalah kado/pembinaan transmigrasi itu menunjukkan seberkas foto lahan transmigrasi yang sudah semi permanen, yaitu 1 rumah 4 x 5 beratapkan seng dan cat putih, kondisi rumah panggung dengan tinggi lantai dari tanah ± 60 cm, dan sebelah kanan kirinya tanaman padi berumur 1 sampai 10 hari, dan pembina tersebut memberitahukan kepada warga yang ikut transmigrasi tersebut akan mendapat bagian masing-masing 2 ha beserta rumahnya. Maka dengan berpikir panjang orang tua saya tergiur iming-iming tersebut, tanpa memandang resiko benar atau tidak.
Singkat cerita :
Berangkatlah kami mula-mula ke kota semarang untuk mendapat bimbingan dan arahan serta ditambah iming-iming yang sangat menjamin kelangsungan hidup anak cucu/pecahan KK. konon akan mendapat bagian tanah seperti jatah orangtua, setelah itu berangkatlah kami dengan diangkut kendaraan kereta api menunuju pelabuhan untuk nail kapal tampomas menuju mbelawan medan selama ± 1 minggu di kapal. Habis itu turun dari kapal disambung naik bis kecil menuju guinting saya.
Dan disitulah singgah beberapa hari. Dan pembina-pembina yang menghantar kami tidak boleh lagi ikut sampai ke tujuan, hanya dibolehkan sampai disitu dan disuruh pulang ke jawa, dengan adanya peraturan tersebut orang tua saya beserta warga lainnya sedikit banyaknya ada perasaan takbar atau tak jelas : dengan pagi harinya berangkatlah kami menuju tujuan dengan memakai angkutan bot/kapal yang sangat kecil dengan menyelusuri sungai turun kelilis dengan dikelilingi hutan yang sangat rimba dan lebat sekali yang belum pernah terdapat di pulau jawa sebelumnya, berjalan makan waktu 1 hari sampai tujuan, sampilah kami ketempat pendaratan bot/kapal kecil tersebut jam 8 malam, semua warga menangis dan merintih setelah tiba kami diturunkan, karena apa tiada satu pun rumah, -
Dan semua hutan belantara yang tidak ada nampak pemukiman dan yang lebih sadis lagi tiada nampak satu genggam tanah yang dipijak semua air dan parahnya lagi itu bukan sampai tujuan masih sekisar 3 kilo/3000 meter lagi dengan berjalan meraba-raba, jalan yang digenangi air merah/gambut setinggi satu dada aku ketika aku waktu itu, orang tua saya dengan menggandeng 2 anak kanan kiri dan diatas kepala bekakas rumah dibawanya, sambil terucap-ucap salah apa kami sama pemerintah dan teganya pemerintah membuang kami ketempat yang tak layak dihuni manusia,-
Setibanya di rumah yang kami tuju yang mana dijanjikan pemerintah, rumah yang diharapkan di foto itu hanyalah tipuan dan iming-iming belaka. Tidak tahunya sebuah gubuk di dalam hutan belantara yang beratapkan daun rumbia, apa hendak dikata mau nuntut pada siapa, mau mengadu pada siapa, yang ada hanya tinggal penyesalan belaka dan pasrah kepada alloh yang akan menuntunkan hidup dan mati, hari-hari hanya jeritan, rintihan istri/ibu dan anak yang hanya nangis yang tak ada habisnya, penderitaan demi penderitaan, makan terancam mau minum takut karna airnya merah karna tanah gambut yang belum pernah terlihat di tanah jawa baik tanahnya maupun airnya. Mau pergi takut karna tak tau arah dan jalan bagaikan ikan masuk dalam bubu. Keadaan sekeliling hanya hutan belukar dan tak ada tanah yang kelihatan karena semua tergenang oleh ari merah, tiga bulan belum mendapat catu dari pemerintah bekal orang tua sudah kandas, dan untuk menyambung hidup apa saja dimakan terutama jamur kayu dan daun-daunan.
Kesengsaraan demi kesengsaraan indonesia sudah merdeka kenapa masih juga kita terancam penderitaan semacam ini, inilah jeritan orang-orang  buadar selang bulan kemudian mulailah datang bantuan/catu berupa sembako, namun tidak mencukupi untuk makan 1 bulan, dan mengambil catu tersebut sangat jauh berangkat dari rumah jam 4 malam sampai tempat tujuan jam 10 siang karna belum ada sarana jalan, jalan tersebut masih dibawah darurat Cuma dengan 2 batang kayu diikat dengan tali kail-kail hutan, dan batang tersebut trapung di atas genangan air, karna tidak mencukupi jalan/catu tersebut, apa-apa berupa alat untuk membukak hutan seperti cangkul, parang linggis, gergaji, kampak dll, terpaksa ditukar kepada orang sekitar tempat pengambilan catu/jatah dengan ubi kayu untuk menambah kebutuhan hidup yang sangat terbatas.
Lama kelamaan warga mempunyai inisiatif untuk membuka parit-parit dan tali-tali air supaya lahan bisa kering demikian pun yang bisa tanam kayu talas dan nanas. Orang tua saya yang mempunyai 5 anak. Saya sendiri anak ke 3 tahu keberadaan orang tua saya, masak nadi dengan priok/katel yang besar dengan ukuran menanak nasi 1 kilo setengah beras ini hanya diisi 1/4 kilo dengan airnya yang penuh satu priuk/katil demi untuk menyambung hidup, ubi kayu hanya kulit luarnya aja yang dibuang, yang dalam tetap diambil untuk jadikan sayur, tanam pisang tidak pernah sampai kepada buah karna belum waktunya buah udah ditebas dijadikan sayuran begitulah seterusnya, hanya iman dan ketabahn yang bisa bertahan hidup, 2 tahun kemudian habislah jatah/catu kami dari pemerintah kehidupan semakin mencekam, penyakit mulai datang berupa malavia dan demam dan gudik, karena kurang suluhan kesehatan.
Terus 5 tahun kemudian mulailah warga bisa menanam ubi kayu dan jagung, tapi juga tak bisa menikmati hasilnya karena banyak hama berupa babi hutan dan kera liar, sekitar tahun 1980an datanglah orang-orang dari kota dengan misi kristenisasi membagikan sembako berupa beras dan indomi serta sedikit uang, siapa yang mau syaratnya harus masuk kristen, kalau yang tidak, tidak dapat, demikianlah gejolak cobaan akidah orang tua saya. Alhamdulillah dengan berkat akidah dan iman orang tua saya tidak tergiur dengan iming-iming itu, walau tau hidup penuh derita dan kelaparan, walau tidak sedikit orang yang mau menerimanya, waktu demi waktu berjalan bersatu dalam mementaskan penderitaan, yaitu diadakan gotong royong untuk membuka sarana jalan dan pertanian, mulailah ada hasilnya dengan menanam padi dan nenas. Walau hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan hidup sudah sangat tertolong dengan bisanya menanam padi dengan tadah hujan.
Singkat cerita penduduk semakin bertambah, anak-anak semakin besar dan pecahan KK pun semakin padat dan berkembang dari generasi ke generasi. Namun hidup tetap masih dalam di bawah kemiskinan. Pemerintah memberi himbauan supaya masyarakat untuk tetap hidup bergotong royong supaya kehidupan bisa sedikit mapan, namun penderitaan tetap penderitaan.
Kini tiba saatnya pecahan KK yang sangat berkembang pesat, kehidupan semakin tak seimbang, kini yang sudah bisa membuka lahan yang dicadangkan pemerintah dengan janji-janji dulu yang mana KK dapat 2 ha dan pecahan KK demikian juga ahli waris transmigrasi ini akan dapat bagian lahan cadangan transmigrasi dengan seluas 10600 ha mana peta tinggal peta dan janji tinggal janji, semua lahan sudah dikuasai pengusaha-pengusaha besar kulit putih/cina, yang mana ribuan ha tidak ada ijin. Yang anehnya lagi aparat desa atau pemerintah setempat diam saja tanpa ada respon apa-apa bila mana warga mendapat tekanan-tekanan dari pengusaha tersebut.
Misal ya warga lewat jalan punya pengusaha tersebut harus membayar palang, ada 2 palang dalam satu palang dikenakan 50.000, kalau 2 palang jelas 100.000 ribu, padahal jalan cuma satu-satunya itu yang dipakai untuk lintas menuju ladang masyarakat dan kenapa pemerintah juga memberi izin alat negara untuk menjadi centeng dan menakut-nakuti masyarakat, contoh ya, kalau dalam pembelaan/cuci parit tanaman masyarakat ada yang tombang atau kena gusur baik tanahnya maupun tanamannya pihak masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa bila mau minta ganti rugi malah ditakut-takuti oleh brimopnya, tapi sebaliknya kalau tanaman pengusaha kena suatu sedikit langsung didenda dan terus dilaporkan kepada yang berwajib, yang sungguh tidak adil dan tidak bijaksana pemerintah setempat untuk menagih wajib pajak lepada warga dengan ancaman-ancaman dan menakut-nakuti, contoh pajak kepada warga dengan ancaman-ancaman dan menakut-nakuti, contoh masyarakat yang hanya punya lahan cuman setapak rumah ukuran 8 m ± 50 m (satu rantai) diwajibkan bayar pajak 6000 rupiah, cara menagih ya baik di Forum maupun di rumah-rumah dengan ucapan kalau saudara-saudara membayar pajak tidak tepat waktu dan terlambat akan dikenakan denda, dan kalau sudah jatuh tempo pihak kecamatan langsung yang mau datang kerumah-rumah.
Tapi kenapa pula orang pengusaha yang puluhan hektar sampai ratusan hektar bahkan ribuan hektar tidak pernah membyar pajak sama sekali, tapi aparat/pemerintah pura-pura tidak tahu/mendengar dan melihat, pengaduan-pengaduan masyarakat tidak pernah ada yang peduli, kami sebenarnya punya pemerintah atau tidak, salah dan dosa apa sebenarnya warga transmigrasi ini kepada negara, kenapa sampai sekarang tidak pernah kami merasakan kemerdekaan.
Tanah-tanah masyarakat diserobot orang-orang cina yang dikawal oleh alat negara dengan bersenjata api, untuk menakuti dan meredam kemarahan masyarakat yang tanahnya diambil paksa oleh pengusaha atau orang cina yang tidak punyai hati sama sekali.
Dengan keluhan dan tutur penderitaan sejarah kehidupan warga transmigrasi angkatan 1975 ini, saya mengharap kepedulian dan kebijaksanaan pemerintah pusat untuk mengabulkan langkah dan kebijaksanaan dalam mengemban amanah para pejuang dan para pahlawan yang telah mendahului kita, untuk mensejahterakan rakyatnya dan bangsanya dari orang-orang zolim/penjajah.
Apakah juga tidak melihat atau pura-pura tidak melihat kenapa orang tua saya dan warga masyarakat/pribumi dibolehkan mempunyai lahan harus dibatas-batasi, dengan I surat 2 ha, kalu 4 ha, 2 surat, tapi kenapa orang-orang cina bisa bikin surat tanah 50 ha, 100 ha hanya dengan I surat, bahkan cina sendiri atas nama Ademin alias Abak punya surat 1025 ha, hanya dengan satu surat, Indonesia ini sebenarnya negara macam apa rakyatnya sendiri dibikin sengsara dan orang-orang kulit putih diberi keluasan dan kemakmuran.
Benar dan tidaknya saya yakin pengusaha-pengusaha kulit putih ini adalah melawan hukum dan jelas merugikan negara, contoh yang sangat kecil mengeluarkan dan memasukkan pekerja semaunya sendiri mau pecat dan tanpa ada pesangon apapun. Dan tidak punya surat indentitas surat yang jelas, hanya dengan kekuatan uanglah mereka bisa berkuasa dan bisa membeli alat negara untuk menakut-nakuti masyarakat yang melalui lahan dia.
Demikian segelintir curhat saya, semua ini tidak saya rekayasa, banyak masyarakat yang lebih menderita dan tertindas oleh orang-orang zalim di desa kami semoga pembaca coretan saya ini bisa perduli kepada warga transmigrasi angkatan 1975 ini, lebih jelas datanglah ke desa kami.
( M. Arofah )



Pertama kali saya transmigrasi
Saya berangkat dari jawa desa Karangtengah/Keg Kemangkon Kab Purbalingga Banyumas, saya di asrama Purwokerto 2 hari dua malam lalu berangkat ke Semarang di Semarang 2 hari dua mala lalu berangkat ke Jakarta 1 hari lalu berangkat ke pelabuhan Tanjung Priuk sore jam 10 malam berangkat ke Belawan.
Perjalanan di kapal 1 minggu sampai di belawan jam 10 pagi lalu berangkat lagi naik Bis dari Belawan jam 1 siang sampai Tanjungpasir jam 1 malam di Tanjungpasir dua hari dua malam lalu berangkat ke Tran, naik bot dari Tanjungpasir jam 10 pagi sampai Tran (AEK NAETEK) Sonomartani jam 7 sore lalu masuk ke hutan belum ada jalan, dari jamur 9 sembilan jam 7 malam sampe lokasi jam 9 malam ditampung digudang Tran jumlah orang 100 kepala keluarga. Rumah banyak yang belum jadi. Saya menerima catu 1 bulan sekali kadang-kadang telat.
Waktu telat catu itulah saya sedih sekali duit tidak ada beras habis anak saya tiga dua perempuan satu laki-laki. Terpaksa saya jual linggis parang cangklok untuk tukar ubi kayu di Nabar Sukarame.
Saya sampe di tranmigrasi tgl 8/6/1975 menerima gran (Sertipikat) Tahun 1990 pembagian lahan untuk anak-anak sampe sekarang pada ngeluh menanyakan lahan anak saya, jadi saya sekarang prihatin sekali lahan sudah habis dijuali orang yang tidak tanggung jawab, jadi sekarang saya akan nuntut sama siapa.
Tolong diuruskan, itulah keluhan saya dari saya

Sunanto/Wakil Tetua Wargra Transmigrasi Desa Sonomartani

ASSALAMUALAIKUM. WR.WB…

PERTAMA KALI ORANG TUA KU DATANG KE DAERAH INI MASIH HUTAN BELANTARA. JATAH RUMAH BELUM SEMPURNA. JADI SEMUA WARGA TRANSMIGRASI MENGUMPUL DI RUANG SEKOLAH DAN SEBAGIAN WARGA TINGGAL BERSAMA di RUMAH yang SUDAH JADI DAN PADA JAMAN dulu. SANGAT SULIT, WARGA HANYA MAKAN MENGHARAP JATAH PEMERINTAH BERUPA SEMBAKO. KARNA MAU MENGERJAI LAHAN BANJIR. SEDANG PEMBEKOAN BELUM ADA. SETELAH ADANYA KERJASAMA DAN GOTONG ROYONG WARGA TAHUN DEMI TAHUN LAHAN MULAI BISA DITANAMI DAN JALANAN YANG DULU BANJIR, BERLUMPUR, DAN YANG DULU BERJALAN MELALUI BATANG BATANG KAYU SUDAH BISA DILALUI.
DAN HINGGA SEKARANG MOBIL-MOBIL PUN SUDAH BISA MELEWATI WALAU JALANNYA MASIH BANYAK LOBANG-LOBANG.
SAAT INI YANG MENJADI HARAPAN KAMI ADALAH MASALAH PERBAIKAN JALAN. DAN SARANA PENDIDIKAN KARNA WALAU MASYARAKATNYA SUDAH BERKEMBANG DRAKTIS JUMLAHNYA. TAPI PENDIDIKAN HANYA ADA SAMPAI SD/SMP. MAKANYA BANYAK ANAK YANG HANYA MENGENYAM PENDIDIKAN SAMPAI SMP SAJA. KARNA KAMI SANGAT JAUH DARI KOTA MAKANYA ANAK YANG MELANJUT SEKOLAH KE KOTA BISA DIHITUNG JUMLHANYA. “DAN SELANJUTNYA MASALAH TANAH SETELAH ORANG TUIA KAMI GENERASI SEPERTI SAYA BANYAK YANG TIDAK MENDAPAT BAGIAN TANAH : SEMENTARA KAMI ADALAH BARU GENERASI PERTAMA SEDANG MENURUT CERITA TANAH DI DAERAH KAMI BERIBU RIBU HEKTAR.
DEMIKIANLAH HARAPAN DAN YANG ADA DALAM PIKIRAN SAYA.
WASSALAM, SEKIAN DARI SAYA
WARGA/PUTRA DAERAH, SONOMARTANI/TRANS LAMA



RIWAYAT HIDUP WARGA TRANSMIGRASI KE SUMATRA UTARA
Kecamatan            : Kuala Hulu Kabupaten      : Labuhan Batu. Aek Naetek
Dengan ini kami menyatakan yang sejujurnya bahwa Transmigrasi yang telah dijanjikan pemerintah pada tahun 1975, sangat memperhatinkan dan sedih sekali. Ternyata semua itu tidak sesuai dengan apa yang kami harpkan. Katanya….??? Setiap warga yang mengikuti Transmigrasi akan diberikan tempat yang sangat berkualitas dan setiap akan diberikan tempat yang sangat berkualitas dan setiap satu anak akan diberi seperampat hektar tanah untuk perumahan dan dua hektar tanah untuk perkebnunan. Tapi, ternyata semua itu hanya janji belaka, sehingga pada saat ini kami tidak pernah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh pemerintah tahun 1975.
Pada hal dulu sejak pertama kali kami datang bertrangmigrasi ke Sumatra Utara Kec. Kualuh Hulu Kap. Labuhan Batu Aek Naetek. Sesampainya kami disini sangat terkejut sekali, karena tempat yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Kami hanya diberi rumah kecil berukuran 4 x 5 m dan beratapkan rumbinya, bahkan lokasinya masih berawa-rawa dan masih banyak pula kayu yang sangat besar-besar yang malang melintang di sekeliling rumah kamu. Disaat itu kami sangat susah sekali untuk keluar masuk rumah, karena harus melewati batang-batang kayu yang malang melintang. Bahkan makan pun kami sangat berkekurangan, karena jatah yang diberikan oleh pemerintah tidak mencukupi selama 1 bulan, sehingga kami makan harus diirit-irit, bahkan kami sering tidak makan, karena di saat itu mau bekerja pun belum ada pekerjaan, mau mengelola tanah pun kami belum bisa karena lokasinya masih berawa-rawa.
Begitulah kehidupan kami pada waktu itu. Makanpun kami harus menunggu jatah dari pemerintah, mau kemana-mana kami belum bisa. Tetapi walau bagaimanapun kami tetap bertahan hingga sampai sekarang, meskipun kami harus buruh setiap hari, demi untuk makan kami sehari-hari. Tapi !!!! hingga saat ini kami belum mendapatkan tanah-tanah tersebut, dikarenakan tanah itu telah dikuasai dengan pengusaha cina, yang lebih sakitnya lagi, sekarang ini kami tidak bisa bebas untuk melewati jalan yang telah dikuasai dengan pengusaha cina. Setiap kami mau lewat harus melapor dahulu dengan penjaga jalan. Bahkan jalan tersebut didirikan pos dan palang, setiap kami lewatt membawa barang dikenakan biaya.
Begitulan penderitaan kami dari sulu sampai sekarang belum ada yang dapat menyelesaikannya.,Maka dari itu kami memohon dengan sangat kepada Bapak Pemerintah agar dapat membantu menyelesaikannya, supaya penderitaan kami ini tidak berkepanjangan sampai ke anak cucu kami.
CUKUP SEKIAN DAN TERIMAKASIH,
( TUKIMIN )







Kasus Sengketa Tanah
Korban (Pelapor) :
Nama               : HADI WARDOYO
Umur               : 65 tahun
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Bertani
Alamat             : Dusun I Purwosari, Desa Sonomartani, Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhan Batu Utara Prop. Sumatra Utara

Mengusahai tanah lahan pertanian seluas : 8 Ha (delapan) hektare, berukuran : 100 m x 800 m, dengan batas                     

            Sebelah Utara              : PT. Sonomartani              Sebelah Barat               : Paret
            Sebelah Selatan            : Bantu Siregar                  Sebelah Timur             : Habib

Telah ditanami (lahan tersebut) oleh PT. Nagali Semangat Jaya, alamat : Desa Sonomartani, Kec. Kualuh Hulu, Kab. Labuhan Batu Utara. Kasus tersebut telah (sudah) dilaporkan ke Kantor Polres Labuhan Batu di Rantau Prapat.
Awal dari kejadian tersebut dikasih tahu oleh Sdr. Suprayitno bahwa tanah saya tersebut ditanami oleh PT. Nagali Subur Jaya, setelah itu terus saya tengok, memang benar kejadiannya.
Proses Pelaporan :
Pertama diajak oleh Sdr. Suprayitno untuk dilaporkan ke LBH Kantor di Desa Pomoli Kec. ……Kab. Labuhan Batu Utara. Setelah diterima oleh LBH (Penerima) laporan Bp. Drs. Muhammad Ali Nasution, SH.,- Selanjutnya PT. Nagali Subur Jaya dipanggil oleh LBH tersebut satu kali, dua kali, sampai tiga kali tidak hadis. Maka terpaksa dilanjutkan (dilaporkan) oleh LBH tersebut ke Polres Labuhan Batu.

Saksi    : 1. Sdr. Suprayitno   2. Sdr. Symin
Panggilan polisi 3 kali
Catatan : sewaktu diperiksa sebelum selesai pertanyaan (pertengahan) kami berdua (Hadi Wiyono dan Suprayitno) diajak keluar dari tempat pemeriksaan oleh     pengacara dari PT. Nagali Subur Jaya (Bahrun Munthe, SH) yang isi dan maksudnya bahwa saya diajak berdamai, Pengacara tersebut bilang :
“Pak, sudahlah baiknya berdamai saja karena tanah tersebut walaupun bapak pertahankan tidak akan menjadi milik bapak, karena bukan tanah bapak”
Menurut pengamatan kami, pengacara PT. Nagali Subur Jaya (Sdr. Bahrun Munthe, SH) tersebut adalah kata-kata penghinaan kepada yang miskin.Perdamaian berkali-kali gagal.
 Akhirnya perdamaian dilaksanakan bertempat di rumah Mako Kalon Pancing, Pamuli Pihak PT. Nagali Subur Jaya sebanyak 3 orang
Pihak Hadi Wardoyo sebanyak 6 orang
Pihak saksi (Kades) sebanyak 1 orang
Perdamaian tidak membuat hasil kesepakatan dari dua belah pihak, tidak ada keputusan akhirnya bubar.


100 Ha Lahan Warga Transmigran Dikuasai PT.Nagali

Jumat, 23 September 2011 | 15:50:46
Labura-Warga transmigrasi yang tinggal di desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara ( Labura) mengaku bahwa sebahagian lahan yang seharusnya diperuntukkan kepada 700 KK ( kepala Keluarga) warga transmigrasi dari pulau jawa beserta untuk anak cucunya, sebahagian telah dikuasai oleh PT.Nagali

Menurut salah seorang Warga Transmigran Jamalik ( …) yang merupakan warga
transmigrasi dari Wonosobo, Jawa tengah, kepada wartawan di rumahnya Sabtu
(17/9), di Desa Sonomartani, mengatakan, bahwa ada sekitar 1100 (seribu
seratus) hektar lebih lahan transmigran yang telah dikuasai oleh PT. Nagali
hingga sekarang.

Diceritakannya, para warga trans yang sekarang berada di Desa Sonomartani
tersebut didatangkan dari Pulau Jawa diantaranya dari Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Jawa Barat, lewat program Departemen Transmigasi Indonesia pada
tahun 1973. Dimana masuknya warga trans untuk gelombang besar pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1973 dengan kode proyekyaitu 7374, sebanyak 200 orang. Mereka dikirim dengan 2 tahap yaitu 100 orang pertahap / bulannya. Kemudian gelombang besar kedua dengan tahunanggaran atau kode proyek 7475 sebanyak 500 kk dengan pengiriman 5 tahap. Dan bahkan Jamalik sendiri mengaku sebagai ketua rombongan dan bahkan pernah mendapat pelatihan dari pemerintah saai itu terkait pengembangan pertanian.

Lanjutnya, pemerintah khususnya departemen transmigrasi awalnya memberikan
“angin sorga “ kepada warga bahwa tempat yang mereka tuju sangat bagus,
lahannya subur, sawah sudah dicetak lengkap dengan irigasi, kemudian
perumahan yang cukup bagus untuk dihuni lengkap dengan fasilitas sekolah
rumah, ibadah lapangan dan sebaginya. Sehingga dengan kampanye bohong ini
warga sangat tertarik dan mereka juga diiming imingi jumlah tanah yang luas
lengkap dengan sertifikat.

Diceritakannya, Setelah sampai dilokasi sesuai yang telah dijanjikan
pemerintah sebelumnya,ternyata kondisinya masih hutan dengan tumbangan kayu
yang tidak beres, dan apa yang dijanjikan sewaktu belum datang ternyata
tidak benar. Dan bahkan pertama kali sampai dilokasi belum bisa langsung
menanam tanaman untuk kebutuhan pokok.

Dan untuk itu kami menuntut kepada pemerintah agar diberi jadup ( jaminan
hidup) karena belum bisa menanam dan bahkan juga masih ikut sibuk memboloh
rumah, dan dengan terpaksa mengupah lah sama PT dan pemborong supaya ada
untuk dimakan. Dan menanam pertama dilakukan dengan system kolektif. Namun
karena belum panen, terpaksa kami menuntut perpanjangan jadup selama
setengah tahun, itupun tinggal hanya dikasih beras dan ikan asin” cerita
Jamalik sembari menambahkan, bahwa lahan transmigrasi tersebut juga pernah
ditinjau langsung oleh mantan menteri penerangan, Harmoko pada tahun 1985.*

Mantan tamatan PGSLP ( pendidikan guru sekolah lanjutan pertama) yang
sekarang mengajar di SMP Sonomartani ini juga menjelaskan, bahwa lahan yang
seharusnya milik warga transmigran tersebut dikuasai PT. Nagali pada tahun
sekitar 1986 yaitu pada masa kepala desa Sonomartani pertama, yaitu Untung.
Dimana lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh PT. Rimba Agung untuk
mengambil kayu. Dan sekitar tahun 1986 PT. Nagali menguasai lahan tersebut
sekitar 1.100 hektar yang selanjutnya menanaminya dengan tanaman kelapa
sawit sejak sekitar tahun 1989.

Demikian juga disampaikan Muhammad Arofa ( 41 ) yang merupakan ketua Kopmas (kelompok masyarakat) peduli warga transmigrasi, dirinya mengaku ikut bersama orang tuanya saat pertama kali datang. Menurut sepengetahuannya, total lahan yang direncanakan untuk dialokasikan kepada warga transmigran termasuk lahan cadangannya seluas 11.000 (sebelas Ribu) hektar, yang terdiri dari rincian, 400 hektar untuk hutan suaka dan 300 hektar untuk transmigrasi local ( transmigrasi GKPI) dan sekitar 10.000 hektar lebih untuk dikelola warga transmigrasi yang datang dari pulau Jawa termasuk cadangannya untuk anak cucunya.

Lahan yang di HPL ( hak pelepasan lahan) pertama kali pada tahun 1978
seluas 1400 hektar untuk 700 KK dengan masing-masing 2 hektar per KK.
Setelah lahan tersebut di kelola, selanjutnya dikeluarkan lagi HPL untuk
lahan cadangan, sehingga total yang di HPL kan menjadi 4600 hektar”.

Namun, menurut Muhammad Arofa sekitar pada tahun 1986 PT. Nagali mengambil lahan tersebut lebih kurang 1.100 hektar termasuk lahan yang sudah di HPL
kan tersebut dan lahan cadangan. Dan yang seharusnya untuk lahan cadangan
lainnya juga ikut dikuasai oleh PT. Abak dan beberapa pengusaha perseorangan lainnya.

Dan sebagai respon dari warga, melalui Kopmas peduli warga Transmigrasi
yang terbentuk sejak tahun 2002 dan beranggotakan lebih kurang 639 KK sudah
pernah memohon kepada pemerintah setempat maupun pihak yang bersangkutan,
diantaranya Bupati Labuhanbatu dan Bupati Labura, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Labura, Badan Pertanahan Nasional Labuhanbatu dan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, dengan menyurati serta menembuskan surat tersebut
ke pihak yang bersangkutan lainnya dari tingkat Provinsi Sumut hingga
pemerintah pusat agar dapat menyelesaikan masalah ini. “Anak cucukan semakin lama semakin besar dan tentunya membutuhkan tanah” jelasnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kesejahteraan Masayarakat ( LKKM), Daniel
Marbun, SH mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan terjadinya pengelolaan
lahan tersebut yang tidak tepat sasaran. PT. Nagali yang sepengetahuannya
tidak memiliki Izin Hak Guna Usaha ( HGU) tersebut tentu sudah melanggar
peraturan terlebih telah menguasai lahan Transmigrasi.

Dan menurutnya, seharusnya pemerintah cepat tanggap. Dan tanah tersebut
sepatutnya segera dikembalikan kepada warga dan sekaligus merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani
lewat pemeberian lahan kepada para petani.

Manager PT. Nagali, Pargaulan Sitorus saat dikonfirmasi, Rabu (21/9)
mengakui bahwa lahan yang dikuasai perusahaan tersebut sejak tahun 1991 lalu seluas 1000 hektar lebih merupakan lahan transmigrasi yang sudah di HPL kan sebelumnya.

Terkait masalah kepemilikan izinnya, pargaulan juga mengakui bahwa PT.
Nagali tersebut tidak memiliki HGU, dan sebelumnya hanya memiliki izin
prinsip. “ memang lahan PT. Nagali itu merupakan lahan transmigran yang
dikuasai sejak tahun 1991. Dan izin yang dimiliki sebelumnya hanya izin
prinsip, sedangkan HGU belum ada “ ujar Pargaulan.

Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Labura
Drs. B. Simorangkir, MPd saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan
membenarkan bahwa pihak transmigran tersebut sudah pernah menyurati pihak.
Namun pihaknya menyarankan warga trans tersebut agar menindaklanjuti ke
Dinas Transmigran Provsu. Dirinya juga mengakui, sampai saat ini pihaknya
tidak memiliki data terkait lahan transmigran tersebut.

Dijelaskannya, bahwa peran serta dari pihak Dinas Sosial, Tenaga kerja dan
Transmigrasi dalam penyelesaian kasus ini tidak ada lagi. Sesuai dengan
tugas dan fungsi, dalam program transmigran pihaknya hanya bertugas untuk
melakukan mulai dari perencanaan, penempatan hingga ke pembninaan selama
lebih kurang lima tahun atau sampai warga trans tersebut bisa mandiri. Namun setelah terbentuk menjadi satu desa defenitif seperti desa Sonomartani tersebut, maka yang menangani masalah mereka itu langsung ditangani Pemda sesuai tata pemerintahan.

Sesuai dengan tugas, kami hanya melakukan mulai perencanaan, penempatan
hingga pembinaan. Namun setelah mandiri dan menjadi satu desa defenitif
sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab Pemda sesuai tata pemerintahan”
jelasnya. ( Renz )





Jumat, 16 Juli 2010 | 14:14:31
PT Bangun Citra Jaya Mandiri Laporkan Penipuan Kepada Polda Sumut
MEDAN (EKSPOSnews): PT Bangun Citra Jaya Mandiri, perusahaan minyak kelapa sawit di Lampung melaporkan PT SSNI ke Polda Sumatra Utara terkait dugaan penipuan jual beli pabrik kelapa sawit di Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumut.
Pengaduan itu tercantum dalam surat bernomor Pol:STPL/195/V/2010/Dit Reskrim Polda Sumut yang diterima penyidik Aiptu M. Rose Harahap.
Direktur Operasional PT Bangun Citra Jaya Mandiri Abdilah Zaki di Medan, Jumat 16 Juli 2010, mengatakan, dugaan penipuan itu berawal ketika pihaknya berencana membeli pabrik kelapa sawit milik PT SSNI di Kualuh Hulu pada 2008.

Dalam proposal yang diajukan PT SSNI disebutkan pabrik kelapa sawit itu mampu memproduksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebanyak 45 ton per jam.Dari perundingan yang dilakukan, disepakati harga pembelian pabrik kelapa sawit itu sebesar Rp70 miliar dengan perincian Rp10 miliar dibayar melalui rekening PT SSNI dan sisanya di Bank Syariah Mandiri Cabang Rantau Prapat.

Seluruh perjanjian jual beli dan kesepakatan pembayaran itu dibuat di hadapan notaris Ilyas Zaini yang berkantor di Jakarta pada 25 Juli 2008.Disepakati juga bahwa pihaknya harus membayar uang muka sebesar Rp5 miliar jika berniat membeli pabrik kelapa sawit tersebut."Karena memang berminat, kami akhirnya membeli perusahaan itu dengan uang muka Rp1 miliar dari Rp5 miliar yang disepakati," kata Zaki. 
Ia menambahkan, ketika melakukan pengecekan di lapangan, ditemukan pabrik kelapa sawit itu sudah tidak memiliki aktivitas karena telah berhenti berproduksi sekitar satu tahun.

Namun, karena telah memberikan dana sebesar Rp1 miliar, transaksi pembelian itu tetap dilanjutkan dengan kesepakatan sisa uang muka Rp4 miliar akan diserahkan jika pabrik tersebut kembali beroperasi. 
Untuk mengaktifkan operasional pabrik itu, PT Bangun Citra Jaya Mandiri terpaksa harus mengeluarkan dana sebesar Rp3,7 miliar untuk melakukan renovasi dan membeli berbagai peralatan.

Kemudian, setelah pabrik kelapa sawit itu dioperasionalkan, pihaknya mengetahui jika tempat itu hanya mampu memproduksi 27 ton CPO per jam, bukan 45 ton sebagaimana proposal PT SSNI. 
Dengan kemampuan produksi yang tidak sesuai harapan dan sulit membiayai perusahaan itu, pihaknya mengajukan permohonan peninjauan ulang harga pembelian pabrik kelapa sawit itu kepada PT SSNI.

Dalam perundingan yang dilakukan, disepakati beberapa poin keputusan seperti pihaknya akan mencari investor baru dan aset jaminan dalam transaksi tersebut diizinkan untuk dijual, baik secara sukarela maupun lelang.

Kesepakatan itu dibuat di depan perwakilan Bank Syariah Mandiri sebagai tempat pembayaran sisa dana pembelian pabrik kelapa sawit tersebut pada 20 Februari 2009.

Namun, pada 16 April 2010 orang-orang suruhan PT SSNI melakukan pengusiran paksa terhadap karyawan dan staf PT Bangun Citra Jaya Mandiri yang sedang bekerja di pabrik kelapa sawit itu.
"Karena pengusuran menggunakan preman, karyawan kami hanya bisa pasrah," kata Zaki.
Awalnya, kata dia, pihaknya membuat laporan ke Polres Labuhanbatu tetapi tidak ditanggapi dengan alasan pabrik kelapa sawit itu masih dianggap milik PT SSNI. "Akhirnya kami membuat laporan pengaduan ke Polda Sumut agar kasus ini bisa diselesaikan dengan adil," kata Zaki.

Anehnya, katanya, berbagai aset yang dibeli PT Bangun Citra Jaya Mandiri sempat hilang dari pabrik kelapa sawit itu ketika pengusiran paksa tersebut dilakukan. "Namun ketika kasus itu dilaporkan ke polisi, barang-barang itu ada lagi di pabrik," katanya.

Kasat II/Bidang Ekonomi Direktorat Reskrim Polda Sumut AKBP Alberd Sianipar yang dihubungi mengatakan, pihaknya akan menyelidiki dulu pengaduan yang disampaikan PT Bangun Citra Jaya Mandiri.
Ketika dipertanyakan tentang kemungkinan memeriksa pimpinan PT SSNI, Alberd Sianipar menyatakan pihaknya akan fokus dalam menyelidiki pengaduan itu terlebih dulu.
"Nanti kan mungkin saja prosesnya kesana," kata Alberd. (ant)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tuntaskan Kasus Perusakan Hutan di Labuhan Batu

[MEDAN] Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jen-deral (Pol) Sutanto diminta mengusut tuntas laporan dugaan perambahan, penguasaan maupun perusakan hutan di Register 4/KL yang diperkirakan mencapai 7000 hektare (ha) di Desa Sukarane dan Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara (Sumut).

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut, Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) dan Lentera menyampaikan hal tersebut, melalui surat yang dilayangkan ke Markas Besar Polri di Jakarta. Surat itu dengan tembusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono, Kejaksaan Agung, Gubernur Sumut, Samuel Pardede, dan lainnya.
"Kami sangat mendukung Polri ketika dapat menangani dugaan kasus perambahan hutan oleh Adelin Lis, Direktur Utama PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), meski perusahaan itu mengantongi izin hak guna usaha (HPH)," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Hardi Munthe, sepulangnya dari Markas Polda Sumut, akhir pekan lalu.

Namun, Walhi Sumut mempertanyakan kembali komitmen tersebut, apakah polisi memang dapat menangani PT Sawita Ledong Jaya, yang diduga tidak memiliki izin HPH, tidak memiliki Amdal setelah mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tapi bisa beroperasi di Labuhan Batu, sampai tuntas. Menurut Hardi, kasus itu dapat dijerat pidana.
Bersama Sekretaris Eksekutif Badan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu) Mangaliat Simarmata, Direktur Eksekutif KPS Sahat Lumbanraja, Sekretaris Eksekutif Lentera Diapari Marpaung dan Herwin Nasution, Hardi menegaskan, beberapa aspek hukum yang tidak dipenuhi PT Sawita Ledong Jaya terdapat pada Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.

Selain itu, aspek hukum lainnya berdasarkan UU No 14 Tahun 2004, menyangkut perkebunan, dan UU No 23 Tahun 1997, menyangkut lingkungan hidup. Kedatangan empat perwakilan lembaga masyarakat itu hendak menemui Kapolda Sumut, Irjen Pol Nuruddin Usman. Namun, mereka diterima oleh AKBP Fauzi, Sekpri orang nomor satu di Polda Sumut tersebut.

"Kedatangan kami ke Polda ini sudah yang keempat kalinya. Namun, kasus yang dilaporkan, saat dipertanyakan, jawabannya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya," kata Mangaliat Simarmata. Menurut Mangaliat, saat mendengar jawaban Fauzi sesuai arahan Kapolda Sumut, polisi akan melanjutkan penanganan kasus tersebut sampai tuntas.

"Sesuai dengan petunjuk Kapolda, kasus itu tetap akan ditangani. Polda akan menggelar perkara tersebut, tidak menghentikan laporan itu begitu saja. Hasilnya nanti diketahui dalam gelar perkara, apakah PT Sawita Ledong Jaya, perusahaan yang dilaporkan itu, terbukti bersalah atau tidak," ujar Mangaliat mengulangi ucapan Fauzi, sesuai dengan arahan Kapolda Sumut.

Menghentikan = Menurut Mangaliat, sangat ironis bila kasus itu tidak dapat ditangani bila dibandingkan dengan perusahaan pemegang HPH seperti PT Mujur Timber Group. Soalnya, berdasarkan surat Badan Planologi Kehutanan No S.293/VII-PW/2005, menyatakan hutan yang dikuasai PT Sawita Ledong Jaya merupakan kawasan hutan, dikelola tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan dari pejabat ber- wenang, sesuai surat keputusan bersama (SKB).

SKB itu melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai dengan No 364/Kpts - II/1990, No 519/Kpts /HK.050/ 7/1990 dan No 23 - VIII - 1990, menyangkut ketentuan pelepasan kawasan hutan serta pemberian HGU. Hal ini untuk pengembangan usaha pertanian. "Setidaknya, polisi dapat menghentikan pengrusakan itu," ungkapnya.
Kuasa hukum PT Sawita Ledong Jaya, Coki TN Sinambela mengharapkan, Walhi bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar tidak banyak mencampuri penanganan kasus oleh polisi atas PT Sawita Ledong. Menurutnya, lebih baik mereka yang berperkara masalah hukum, menyerahkan kasus itu kepada polisi.

"Lebih baik kita yang sudah berperkara ini mempercayai penanganan hukum, sesuai yang diharapkan. Nantinya akan terungkap, apakah PT Sawita Ledong memang terbukti bersalah atau tidak. Nanti hasilnya akan diketahui, jadi lebih baik pihak yang keberatan tidak asal ngomong," kata Sinambela.

Ia menegaskan pihaknya akan menuntut balik empat lembaga tersebut. [AHS/W-8]

Dilintasi Truk Bermuatan 40 ton, Jembatan di Jalan Lintas Kualuh Terancam Ambruk
Posted in Daerah by Redaksi on Agustus 14th, 2007 sampai sekarang tidak ada kepdulian ????

Aekkanopan (SIB)
Empat jembatan di jalan lintas Kualuh, masing-masing jembatan parit alam yang berjarak beberapa meter dari PKS PT Sonomartani Sawita Namora Int (PT SSNI), Jembatan Simpang Jambur, dan jembatan simpang transmigrasi lama ketiganya di Desa Sonomartani Kecamatan Kualuhhulu serta jembatan titi payung di Dusun Pulogambut, Desa Sukaramebaru Kecamatan Kualuhhulu, terancam ambruk akibat bebas dilintasi truk roda 10 bermuatan 20 ton padahal kelas jalan dan jembatan hanya khusus kenderaan bertonase 8 ton.
Pantauan SIB Sabtu (11/8), terjadi antrean truk di jembatan parit alam karena 1 unit truk Colt Diesel hampir terperosok masuk ke lobang di sekitar jembatan yang kondisinya memprihatinkan. Kondisi jembatan terparah dijumpai di jembatan simpang Jambur dan jembatan simpang transmigrasi lama.
Hal itu terjadi diduga karena bebasnya truk roda 10 melintas, kata warga di sekitar lokasi jembatan. Apabila  tidak segera diperbaiki tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat jembatan itu akan ambruk,†imbuh warga.
Kita juga prihatin setelah melihat jembatan titi payung, kata Wakil Ketua PAC PDI-P Kecamatan Kualuh selatan Untung Hardianto yang turut bersama SIB saat itu. Jembatan yang baru rampung dikerjakan beberapa bulan lalu berbiaya ratusan juta rupiah dari APBD Labuhnbatu TA 2006 oleh kontraktor dari Rantauprapat, terancam ambruk karena dari 115 batang besi baja yang konstruksinya dilintangkan dengan cara dilas sudah ada yang berlepasan.
Sedikitnya 20 batang baja yang dilas di sisi jembatan tidak menyatu lagi dengan galang besi yang letaknya di sisi kiri kanan jembatan sehingga bila kendaraan melintas terdengar suara nyaring. Agar kondisi jembatan tidak bertambah parah, untung berharap instansi terkait segera tanggap.
Diyakininya penyebab rusaknya jembatan itu karena truk roda 10 bermuatan 20 ton ke atas bebas melintas padahal jembatan itu hanya boleh dilalui kenderaan bertonase maksimum 8 ton sesuai Perda. (CHF/m)


July 11, 2007 · Filed under Uncategorized
Medan,  5 Juli 2007Release Pers :
Kepada Yth :REKAN-REKAN MEDIAdi    Medan  Salam hijau, Merebaknya kasus PT.Sawita Leidong Jaya (SLJ) yang mencuat baru-baru ini hendaknya jangan disikapi secara tidak proporsional oleh POLDA Sumatera Utara. Belakang di beberapa media massa terbitan Medan yang diamati nampaknya POLDA Sumut seakan menjadi semacam Humas (hubungan masyarakat) PT.SLJ. Kerap kali POLDA Sumut mengungkapkan penegasannya bahwa PT.SLJ memiliki ijin dan perkebunan tersebut adalah investasi yang seolah-olah jangan diganggu oleh siapapun. Lalu tudingan POLDA sering diarahkan kepada Petani yang mengklaim sebagian lahan yang berkonflik atau dikuasai oleh PT.SLJ. Justru pengaduan kami baru-baru ini ke POLDA Sumut tidak digubris, padahal secara resmi kami sudah laporkan dugaan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh corporasi PT.SLJ di kawasan hutan register 4/KL (kawasan hutan lindung dan konservasi), ujar Hardi Munthe Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara di Medan pada kamis 5 Juli 2007. Lima (5) LSM/NGO seperti BAKUMSU, LENTERA, KPS, OPPUK didampingi oleh WALHI Sumatera Utara telah berulangkali menyerahkan secara resmi data dan fakta penguasaan, pendudukan dan pengusahaan kawasan hutan lindung dan konservasi yang mencapai 7000-an hektar di Kecamatan Kualuh Hulu (khususunya di Desa Sukarame dan Sonomartani) dan Kec. Kualuh Leidong (Desa Air Hitam) tanpa ijin dari pejabat berwenang yang menangani kehutanan. Dan mengapa kami melaporkan ini ke MABES POLRI melalui Bapak Komjen Pol. Bambang H.Danuri karena kami nilai POLDA Sumut tidak proaktif dan tidak serius menanggapi laporan yang jelas-jelas terjadi setidaknya sejak tahun 1999 oleh corporasi PT.SLJ di lokasi dimaksud, tambah Hardi. Hal yang dapat kami catat, nampaknya Kepolisian dalam hal ini POLDA Sumut bersikap ambivalen atau mendua, satu sisi POLDA SU (kepolisian) menunjukkan keseriusannya dalam berbagai kasus perambahan yang melibatkan corporasi/perusahaan seperti kasus PT.Mujur Timber Group di kawasan hutan Madina, kasus register 40 (DL.Sitorus) namun di sisi lain tidak proaktif dan kurang merespon dalam kasus indentik/serupa yang melibatkan corporasi seperti   PT.SLJ yang mana bukti atau petunjuk awalnya sudah kami ajukan. POLDA seharusnya sigap dan mengambil tindakan konkrit untuk mengusut dan memproses kasus ini. Malah yang terjadi dalam beberapa kali kunjungan kami ke MAPOLDA SU dalam rangka melaporkan kasus ini kelihatan POLDA SU buang badan dan lempar bola. Sudah 3 kali kami ke POLDA melaporkan kasus ini namun sangat sulit diterima pengaduan kami, padahal tindak pidana semacam ini bukanlah delik aduan, sesungguhnya Aparat Hukum yang harus proaktif mengusut kasus semacam ini apalagi bukti permulaan sangat cukup karena dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung yang kami (dan rekan-rekan) yakini sangat membantu Aparat Hukum untuk mengusut kasus ini. Justru kenapa  POLDA SU malah kelihatan sangat serius mengusut dan menangkapi Petani dari Kelompok Tani Penghijauan yang diadukan oleh PT.SLJ dengan alasan pengerusakan tanaman sawit padahal perkebunan sawit tersebut berada di kawasan hutan register 4/KL yang belum memiliki ijin pelepasan kawasan dari Menhut, tegas Hardi.  Perlu diketahui bahwa sesuai dengan Surat Badan Planologi Kehutanan No. S.293/VII-PW/2005 tertanggal 21 April 2005 yang secara jelas menyatakan bahwa kawasan yang dikuasai dan diusahai PT. Sawita Leidong Jaya adalah kawasan hutan register 4/KL dan belum memiliki ijin pelepasan kawasan dari pejabat yang berwenang sesuai SKB (surat keputusan bersama) Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No.364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/1990, No.23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Sehingga atas dasar ini seharusnya sudah harus ada tindakan hukum konkrit untuk menghentikan penguasaan kawasan hutan lindung tanpa ijin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Kehutanan karena menyangkut kawasan hutan lindung dan konservasi. Selain ijin pelepasan kawasan dari Menhut yang belum dimiliki, PT.SLJ juga belum memiliki ijin kelayakan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan hidup) karena sesuai UU No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup maka kegiatan semacam ini wajib dilengkapi dengan ijin AMDAL. Kami sudah mempertanyakan ijin kelayakan AMDAL ini kepada Menteri Lingkungan Hidup, Bapedalda Sumatera Utara dan Bapedalda Kab.Labuhan Batu baik melalui surat maupun secara langsung. MNLH dan Bapedalda memang belum membalas surat kami tersebut akan tetapi informasi yang kami dapatkan secara lisan dari salah seorang pejabat di BAPEDALDA Sumut (Ir. RS) bahwa pihak mereka belum pernah mendengar atau menangani ijin AMDAL yang namanya PT.Sawita Leidong Jaya. Hal yang sama juga WALHI Sumatera Utara belum pernah mendengar atau mengetahui ada ijin AMDAL PT.SLJ. Secara logika tidak mungkin diberikan ijin AMDAL kalau ijin penggunaan kawasan hutan lindung dan konservasi belum diberikan. Selanjutnya ini berarti PT.SLJ terindikasi kuat belum memenuhi persyaratan ijin sesuai peraturan yang belaku. Jangan seolah-olah PT.SLJ sudah kantongi ijin lokasi atau prinsip dari Bupati atau ijin perkebunan lantas dengan mudah menguasai dan menguasahai kawasan hutan lindung dan konservasi. Jika memang PT.SLJ ingin berinvestasi maka wajib patuhi dan taati prosedur dan perudangan yang belaku, jika tidak maka semua orang bisa melakukan hal yang sama dengan mudah. Apakah yang begini yang namanya investasi yang harus dilindungi? Kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi di Sumatera Utara dan banyak kasus-kasus seperti ini tidak muncul ke permukaan. Sepatutnya hal semacam ini dijadikan perhatian serius semua instansi yang terkait mulai dari Menhut, Kapolri, Dinas Kehutanan Sumut , Bapedalda Sumut, POLDA Sumut, BKSDA (balai konservasi sumber daya alam, karena menyangkut kawasan konservasi) dan aparat terkait lainnya, hukum harus diperlakukan adil dan Aparat Hukum jangan ambivalen, desak Hardi Munthe.  Dengan ini WALHI Sumatera Utara kembali mendesak Kapolri melalui KAPOLDA SU untuk proaktif merespon laporan pengaduan kasus PT.SLJ yang dilakukan oleh LSM/NGO dan kepada Menteri Kehutanan melalui KADIS Kehutanan Sumut agar proaktif mengkordinasikan pengusutan kasus ini bersama dengan POLDA SU dan BKSDA SU. Hal ini diperlukan agar masalah ini tidak bertele-tele dan menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat khususnya di Labuhan Batu. Demikian disampaikan untuk mendapatkan atensi dari rekan-rekan Media. Jika ada hal yang kurang jelas silahkan hubungi kami. Terima kasih. Wassalam,  Hardi MuntheDirektur EksekutifWALHI Sumatera UtaraJl. Sukaria No.19 (stm) Medan 20146Tel/Fax : 061- 455 34 30Email : walhisumut@telkom.net atau walhisumut06@yahoo.comHP. 0812 641 6466 
Dari Perang Sunggal sampai Lahan Kuala Namu
Oleh Khaeruddin
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Layaknya wilayah lain di Nusantara, dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya era kepemilikan individual itu.
K Saidin, Kepala Pertanahan Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di Sumatera Utara (Sumut), menulis, kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming (perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula dari karut-marutnya sengketa tanah di Sumut.
Nienhuys adalah orang yang memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini.
Berawal dari keberhasilan Nienhuys inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
Menurut Saidin dalam bukunya, sultan atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia Timur.
Ahli hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
"Seperti juga di wilayah lain di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah," papar Yamin.
Konsep hukum agraria Barat yang dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya.
"Perusahaan perkebunan ini menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat," ujarnya.
Perang Sunggal
Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing menuai konflik berdarah.
Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij.
Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan.
Ketika Jepang menjadi penguasa di tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka, negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumut, lanjut Yamin, setelah terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan swasta asing oleh masyarakat.
Masyarakat mengenal kartu registrasi penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat.
Hanya saja, kata Yamin, surat tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya. Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun sertifikat hak guna pakai.
"Namun, yang terjadi sebelum ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat," katanya.
Mestinya, ujar Yamin, tanah yang menjadi milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan.
"Di dalam kehidupan yang sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka, seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak," kata Yamin.
Rakyat vs perkebunan
Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN).
Masyarakat Deli yang dulunya diberi hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka.
Rakyat kemudian menuntut haknya. Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II.
Konflik pun meluas, tak lagi antara masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang.
Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut.
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima.
Kedua perusahaan itu menjanjikan lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka perkebunan kelapa sawit di hutan register 4.
Namun, janji kedua perusahaan tidak dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan di Kepolisian Daerah Sumut.
Kasus lain adalah sengketa tanah Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar.
Yang mereka garap adalah rawa-rawa yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. "Mereka yang mencoba menuntut kembali haknya dicap komunis," ujar Mangaliat.
Penguasaan hutan
Jenis sengketa tanah lain yang juga terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun.
"Sebanyak 56 petani ditangkap polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi warga.
"Pengelolaan hutan bisa sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu, daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti sawit dan karet," kata Hardi






Jumat, 16 Juli 2010 | 14:14:31
PT Bangun Citra Jaya Mandiri Laporkan Penipuan Kepada Polda Sumut
MEDAN (EKSPOSnews): PT Bangun Citra Jaya Mandiri, perusahaan minyak kelapa sawit di Lampung melaporkan PT SSNI ke Polda Sumatra Utara terkait dugaan penipuan jual beli pabrik kelapa sawit di Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumut.
Pengaduan itu tercantum dalam surat bernomor Pol:STPL/195/V/2010/Dit Reskrim Polda Sumut yang diterima penyidik Aiptu M. Rose Harahap.
Direktur Operasional PT Bangun Citra Jaya Mandiri Abdilah Zaki di Medan, Jumat 16 Juli 2010, mengatakan, dugaan penipuan itu berawal ketika pihaknya berencana membeli pabrik kelapa sawit milik PT SSNI di Kualuh Hulu pada 2008.

Dalam proposal yang diajukan PT SSNI disebutkan pabrik kelapa sawit itu mampu memproduksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebanyak 45 ton per jam.

Dari perundingan yang dilakukan, disepakati harga pembelian pabrik kelapa sawit itu sebesar Rp70 miliar dengan perincian Rp10 miliar dibayar melalui rekening PT SSNI dan sisanya di Bank Syariah Mandiri Cabang Rantau Prapat.

Seluruh perjanjian jual beli dan kesepakatan pembayaran itu dibuat di hadapan notaris Ilyas Zaini yang berkantor di Jakarta pada 25 Juli 2008.

Disepakati juga bahwa pihaknya harus membayar uang muka sebesar Rp5 miliar jika berniat membeli pabrik kelapa sawit tersebut.

"Karena memang berminat, kami akhirnya membeli perusahaan itu dengan uang muka Rp1 miliar dari Rp5 miliar yang disepakati," kata Zaki.

Ia menambahkan, ketika melakukan pengecekan di lapangan, ditemukan pabrik kelapa sawit itu sudah tidak memiliki aktivitas karena telah berhenti berproduksi sekitar satu tahun.

Namun, karena telah memberikan dana sebesar Rp1 miliar, transaksi pembelian itu tetap dilanjutkan dengan kesepakatan sisa uang muka Rp4 miliar akan diserahkan jika pabrik tersebut kembali beroperasi.

Untuk mengaktifkan operasional pabrik itu, PT Bangun Citra Jaya Mandiri terpaksa harus mengeluarkan dana sebesar Rp3,7 miliar untuk melakukan renovasi dan membeli berbagai peralatan.

Kemudian, setelah pabrik kelapa sawit itu dioperasionalkan, pihaknya mengetahui jika tempat itu hanya mampu memproduksi 27 ton CPO per jam, bukan 45 ton sebagaimana proposal PT SSNI.

Dengan kemampuan produksi yang tidak sesuai harapan dan sulit membiayai perusahaan itu, pihaknya mengajukan permohonan peninjauan ulang harga pembelian pabrik kelapa sawit itu kepada PT SSNI.

Dalam perundingan yang dilakukan, disepakati beberapa poin keputusan seperti pihaknya akan mencari investor baru dan aset jaminan dalam transaksi tersebut diizinkan untuk dijual, baik secara sukarela maupun lelang.

Kesepakatan itu dibuat di depan perwakilan Bank Syariah Mandiri sebagai tempat pembayaran sisa dana pembelian pabrik kelapa sawit tersebut pada 20 Februari 2009.

Namun, pada 16 April 2010 orang-orang suruhan PT SSNI melakukan pengusiran paksa terhadap karyawan dan staf PT Bangun Citra Jaya Mandiri yang sedang bekerja di pabrik kelapa sawit itu.
"Karena pengusuran menggunakan preman, karyawan kami hanya bisa pasrah," kata Zaki.
Awalnya, kata dia, pihaknya membuat laporan ke Polres Labuhanbatu tetapi tidak ditanggapi dengan alasan pabrik kelapa sawit itu masih dianggap milik PT SSNI.
"Akhirnya kami membuat laporan pengaduan ke Polda Sumut agar kasus ini bisa diselesaikan dengan adil," kata Zaki.
Anehnya, katanya, berbagai aset yang dibeli PT Bangun Citra Jaya Mandiri sempat hilang dari pabrik kelapa sawit itu ketika pengusiran paksa tersebut dilakukan.
"Namun ketika kasus itu dilaporkan ke polisi, barang-barang itu ada lagi di pabrik," katanya.
Kasat II/Bidang Ekonomi Direktorat Reskrim Polda Sumut AKBP Alberd Sianipar yang dihubungi mengatakan, pihaknya akan menyelidiki dulu pengaduan yang disampaikan PT Bangun Citra Jaya Mandiri.
Ketika dipertanyakan tentang kemungkinan memeriksa pimpinan PT SSNI, Alberd Sianipar menyatakan pihaknya akan fokus dalam menyelidiki pengaduan itu terlebih dulu.
"Nanti kan mungkin saja prosesnya kesana," kata Alberd. (ant)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tuntaskan Kasus Perusakan Hutan di Labuhan Batu

[MEDAN] Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jen-deral (Pol) Sutanto diminta mengusut tuntas laporan dugaan perambahan, penguasaan maupun perusakan hutan di Register 4/KL yang diperkirakan mencapai 7000 hektare (ha) di Desa Sukarane dan Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu dan Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara (Sumut).

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut, Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) dan Lentera menyampaikan hal tersebut, melalui surat yang dilayangkan ke Markas Besar Polri di Jakarta. Surat itu dengan tembusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono, Kejaksaan Agung, Gubernur Sumut, Samuel Pardede, dan lainnya.
"Kami sangat mendukung Polri ketika dapat menangani dugaan kasus perambahan hutan oleh Adelin Lis, Direktur Utama PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), meski perusahaan itu mengantongi izin hak guna usaha (HPH)," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Hardi Munthe, sepulangnya dari Markas Polda Sumut, akhir pekan lalu.

Namun, Walhi Sumut mempertanyakan kembali komitmen tersebut, apakah polisi memang dapat menangani PT Sawita Ledong Jaya, yang diduga tidak memiliki izin HPH, tidak memiliki Amdal setelah mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tapi bisa beroperasi di Labuhan Batu, sampai tuntas. Menurut Hardi, kasus itu dapat dijerat pidana.
Bersama Sekretaris Eksekutif Badan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu) Mangaliat Simarmata, Direktur Eksekutif KPS Sahat Lumbanraja, Sekretaris Eksekutif Lentera Diapari Marpaung dan Herwin Nasution, Hardi menegaskan, beberapa aspek hukum yang tidak dipenuhi PT Sawita Ledong Jaya terdapat pada Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.

Selain itu, aspek hukum lainnya berdasarkan UU No 14 Tahun 2004, menyangkut perkebunan, dan UU No 23 Tahun 1997, menyangkut lingkungan hidup. Kedatangan empat perwakilan lembaga masyarakat itu hendak menemui Kapolda Sumut, Irjen Pol Nuruddin Usman. Namun, mereka diterima oleh AKBP Fauzi, Sekpri orang nomor satu di Polda Sumut tersebut.

"Kedatangan kami ke Polda ini sudah yang keempat kalinya. Namun, kasus yang dilaporkan, saat dipertanyakan, jawabannya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya," kata Mangaliat Simarmata. Menurut Mangaliat, saat mendengar jawaban Fauzi sesuai arahan Kapolda Sumut, polisi akan melanjutkan penanganan kasus tersebut sampai tuntas.

"Sesuai dengan petunjuk Kapolda, kasus itu tetap akan ditangani. Polda akan menggelar perkara tersebut, tidak menghentikan laporan itu begitu saja. Hasilnya nanti diketahui dalam gelar perkara, apakah PT Sawita Ledong Jaya, perusahaan yang dilaporkan itu, terbukti bersalah atau tidak," ujar Mangaliat mengulangi ucapan Fauzi, sesuai dengan arahan Kapolda Sumut.

Menghentikan = Menurut Mangaliat, sangat ironis bila kasus itu tidak dapat ditangani bila dibandingkan dengan perusahaan pemegang HPH seperti PT Mujur Timber Group. Soalnya, berdasarkan surat Badan Planologi Kehutanan No S.293/VII-PW/2005, menyatakan hutan yang dikuasai PT Sawita Ledong Jaya merupakan kawasan hutan, dikelola tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan dari pejabat ber- wenang, sesuai surat keputusan bersama (SKB).

SKB itu melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai dengan No 364/Kpts - II/1990, No 519/Kpts /HK.050/ 7/1990 dan No 23 - VIII - 1990, menyangkut ketentuan pelepasan kawasan hutan serta pemberian HGU. Hal ini untuk pengembangan usaha pertanian. "Setidaknya, polisi dapat menghentikan pengrusakan itu," ungkapnya.
Kuasa hukum PT Sawita Ledong Jaya, Coki TN Sinambela mengharapkan, Walhi bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar tidak banyak mencampuri penanganan kasus oleh polisi atas PT Sawita Ledong. Menurutnya, lebih baik mereka yang berperkara masalah hukum, menyerahkan kasus itu kepada polisi.

"Lebih baik kita yang sudah berperkara ini mempercayai penanganan hukum, sesuai yang diharapkan. Nantinya akan terungkap, apakah PT Sawita Ledong memang terbukti bersalah atau tidak. Nanti hasilnya akan diketahui, jadi lebih baik pihak yang keberatan tidak asal ngomong," kata Sinambela.Ia menegaskan pihaknya akan menuntut balik empat lembaga tersebut. [AHS/W-8]




Dilintasi Truk Bermuatan 40 ton, Jembatan di Jalan Lintas Kualuh Terancam Ambruk
Posted in Daerah by Redaksi on Agustus 14th, 2007 sampai sekarang tidak ada kepdulian ????

Aekkanopan (SIB)
Empat jembatan di jalan lintas Kualuh, masing-masing jembatan parit alam yang berjarak beberapa meter dari PKS PT Sonomartani Sawita Namora Int (PT SSNI), Jembatan Simpang Jambur, dan jembatan simpang transmigrasi lama ketiganya di Desa Sonomartani Kecamatan Kualuhhulu serta jembatan titi payung di Dusun Pulogambut, Desa Sukaramebaru Kecamatan Kualuhhulu, terancam ambruk akibat bebas dilintasi truk roda 10 bermuatan 20 ton padahal kelas jalan dan jembatan hanya khusus kenderaan bertonase 8 ton.
Pantauan SIB Sabtu (11/8), terjadi antrean truk di jembatan parit alam karena 1 unit truk Colt Diesel hampir terperosok masuk ke lobang di sekitar jembatan yang kondisinya memprihatinkan. Kondisi jembatan terparah dijumpai di jembatan simpang Jambur dan jembatan simpang transmigrasi lama.
Hal itu terjadi diduga karena bebasnya truk roda 10 melintas, kata warga di sekitar lokasi jembatan. Apabila  tidak segera diperbaiki tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat jembatan itu akan ambruk,†imbuh warga.
Kita juga prihatin setelah melihat jembatan titi payung, kata Wakil Ketua PAC PDI-P Kecamatan Kualuh selatan Untung Hardianto yang turut bersama SIB saat itu. Jembatan yang baru rampung dikerjakan beberapa bulan lalu berbiaya ratusan juta rupiah dari APBD Labuhnbatu TA 2006 oleh kontraktor dari Rantauprapat, terancam ambruk karena dari 115 batang besi baja yang konstruksinya dilintangkan dengan cara dilas sudah ada yang berlepasan.
Sedikitnya 20 batang baja yang dilas di sisi jembatan tidak menyatu lagi dengan galang besi yang letaknya di sisi kiri kanan jembatan sehingga bila kendaraan melintas terdengar suara nyaring. Agar kondisi jembatan tidak bertambah parah, untung berharap instansi terkait segera tanggap.
Diyakininya penyebab rusaknya jembatan itu karena truk roda 10 bermuatan 20 ton ke atas bebas melintas padahal jembatan itu hanya boleh dilalui kenderaan bertonase maksimum 8 ton sesuai Perda. (CHF/m)


July 11, 2007 ·
Medan,  5 Juli 2007Release Pers :
Kepada Yth :REKAN-REKAN MEDIAdi    Medan  Salam hijau, Merebaknya kasus PT.Sawita Leidong Jaya (SLJ) yang mencuat baru-baru ini hendaknya jangan disikapi secara tidak proporsional oleh POLDA Sumatera Utara. Belakang di beberapa media massa terbitan Medan yang diamati nampaknya POLDA Sumut seakan menjadi semacam Humas (hubungan masyarakat) PT.SLJ. Kerap kali POLDA Sumut mengungkapkan penegasannya bahwa PT.SLJ memiliki ijin dan perkebunan tersebut adalah investasi yang seolah-olah jangan diganggu oleh siapapun. Lalu tudingan POLDA sering diarahkan kepada Petani yang mengklaim sebagian lahan yang berkonflik atau dikuasai oleh PT.SLJ. Justru pengaduan kami baru-baru ini ke POLDA Sumut tidak digubris, padahal secara resmi kami sudah laporkan dugaan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh corporasi PT.SLJ di kawasan hutan register 4/KL (kawasan hutan lindung dan konservasi), ujar Hardi Munthe Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara di Medan pada kamis 5 Juli 2007. Lima (5) LSM/NGO seperti BAKUMSU, LENTERA, KPS, OPPUK didampingi oleh WALHI Sumatera Utara telah berulangkali menyerahkan secara resmi data dan fakta penguasaan, pendudukan dan pengusahaan kawasan hutan lindung dan konservasi yang mencapai 7000-an hektar di Kecamatan Kualuh Hulu (khususunya di Desa Sukarame dan Sonomartani) dan Kec. Kualuh Leidong (Desa Air Hitam) tanpa ijin dari pejabat berwenang yang menangani kehutanan. Dan mengapa kami melaporkan ini ke MABES POLRI melalui Bapak Komjen Pol. Bambang H.Danuri karena kami nilai POLDA Sumut tidak proaktif dan tidak serius menanggapi laporan yang jelas-jelas terjadi setidaknya sejak tahun 1999 oleh corporasi PT.SLJ di lokasi dimaksud, tambah Hardi. Hal yang dapat kami catat, nampaknya Kepolisian dalam hal ini POLDA Sumut bersikap ambivalen atau mendua, satu sisi POLDA SU (kepolisian) menunjukkan keseriusannya dalam berbagai kasus perambahan yang melibatkan corporasi/perusahaan seperti kasus PT.Mujur Timber Group di kawasan hutan Madina, kasus register 40 (DL.Sitorus) namun di sisi lain tidak proaktif dan kurang merespon dalam kasus indentik/serupa yang melibatkan corporasi seperti   PT.SLJ yang mana bukti atau petunjuk awalnya sudah kami ajukan. POLDA seharusnya sigap dan mengambil tindakan konkrit untuk mengusut dan memproses kasus ini. Malah yang terjadi dalam beberapa kali kunjungan kami ke MAPOLDA SU dalam rangka melaporkan kasus ini kelihatan POLDA SU buang badan dan lempar bola. Sudah 3 kali kami ke POLDA melaporkan kasus ini namun sangat sulit diterima pengaduan kami, padahal tindak pidana semacam ini bukanlah delik aduan, sesungguhnya Aparat Hukum yang harus proaktif mengusut kasus semacam ini apalagi bukti permulaan sangat cukup karena dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung yang kami (dan rekan-rekan) yakini sangat membantu Aparat Hukum untuk mengusut kasus ini. Justru kenapa  POLDA SU malah kelihatan sangat serius mengusut dan menangkapi Petani dari Kelompok Tani Penghijauan yang diadukan oleh PT.SLJ dengan alasan pengerusakan tanaman sawit padahal perkebunan sawit tersebut berada di kawasan hutan register 4/KL yang belum memiliki ijin pelepasan kawasan dari Menhut, tegas Hardi.  Perlu diketahui bahwa sesuai dengan Surat Badan Planologi Kehutanan No. S.293/VII-PW/2005 tertanggal 21 April 2005 yang secara jelas menyatakan bahwa kawasan yang dikuasai dan diusahai PT. Sawita Leidong Jaya adalah kawasan hutan register 4/KL dan belum memiliki ijin pelepasan kawasan dari pejabat yang berwenang sesuai SKB (surat keputusan bersama) Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No.364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/1990, No.23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Sehingga atas dasar ini seharusnya sudah harus ada tindakan hukum konkrit untuk menghentikan penguasaan kawasan hutan lindung tanpa ijin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Kehutanan karena menyangkut kawasan hutan lindung dan konservasi. Selain ijin pelepasan kawasan dari Menhut yang belum dimiliki, PT.SLJ juga belum memiliki ijin kelayakan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan hidup) karena sesuai UU No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup maka kegiatan semacam ini wajib dilengkapi dengan ijin AMDAL. Kami sudah mempertanyakan ijin kelayakan AMDAL ini kepada Menteri Lingkungan Hidup, Bapedalda Sumatera Utara dan Bapedalda Kab.Labuhan Batu baik melalui surat maupun secara langsung. MNLH dan Bapedalda memang belum membalas surat kami tersebut akan tetapi informasi yang kami dapatkan secara lisan dari salah seorang pejabat di BAPEDALDA Sumut (Ir. RS) bahwa pihak mereka belum pernah mendengar atau menangani ijin AMDAL yang namanya PT.Sawita Leidong Jaya. Hal yang sama juga WALHI Sumatera Utara belum pernah mendengar atau mengetahui ada ijin AMDAL PT.SLJ. Secara logika tidak mungkin diberikan ijin AMDAL kalau ijin penggunaan kawasan hutan lindung dan konservasi belum diberikan. Selanjutnya ini berarti PT.SLJ terindikasi kuat belum memenuhi persyaratan ijin sesuai peraturan yang belaku. Jangan seolah-olah PT.SLJ sudah kantongi ijin lokasi atau prinsip dari Bupati atau ijin perkebunan lantas dengan mudah menguasai dan menguasahai kawasan hutan lindung dan konservasi. Jika memang PT.SLJ ingin berinvestasi maka wajib patuhi dan taati prosedur dan perudangan yang belaku, jika tidak maka semua orang bisa melakukan hal yang sama dengan mudah. Apakah yang begini yang namanya investasi yang harus dilindungi? Kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi di Sumatera Utara dan banyak kasus-kasus seperti ini tidak muncul ke permukaan. Sepatutnya hal semacam ini dijadikan perhatian serius semua instansi yang terkait mulai dari Menhut, Kapolri, Dinas Kehutanan Sumut , Bapedalda Sumut, POLDA Sumut, BKSDA (balai konservasi sumber daya alam, karena menyangkut kawasan konservasi) dan aparat terkait lainnya, hukum harus diperlakukan adil dan Aparat Hukum jangan ambivalen, desak Hardi Munthe.  Dengan ini WALHI Sumatera Utara kembali mendesak Kapolri melalui KAPOLDA SU untuk proaktif merespon laporan pengaduan kasus PT.SLJ yang dilakukan oleh LSM/NGO dan kepada Menteri Kehutanan melalui KADIS Kehutanan Sumut agar proaktif mengkordinasikan pengusutan kasus ini bersama dengan POLDA SU dan BKSDA SU. Hal ini diperlukan agar masalah ini tidak bertele-tele dan menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat khususnya di Labuhan Batu. Demikian disampaikan untuk mendapatkan atensi dari rekan-rekan Media. Jika ada hal yang kurang jelas silahkan hubungi kami. Terima kasih. Wassalam,  Hardi MuntheDirektur EksekutifWALHI Sumatera UtaraJl. Sukaria No.19 (stm) Medan 20146Tel/Fax : 061- 455 34 30Email : walhisumut@telkom.net atau walhisumut06@yahoo.comHP. 0812 641 6466 
Dari Perang Sunggal sampai Lahan Kuala Namu
Oleh Khaeruddin
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Layaknya wilayah lain di Nusantara, dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya era kepemilikan individual itu.
K Saidin, Kepala Pertanahan Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di Sumatera Utara (Sumut), menulis, kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming (perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula dari karut-marutnya sengketa tanah di Sumut.
Nienhuys adalah orang yang memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini.
Berawal dari keberhasilan Nienhuys inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
Menurut Saidin dalam bukunya, sultan atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia Timur.
Ahli hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
"Seperti juga di wilayah lain di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah," papar Yamin.
Konsep hukum agraria Barat yang dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya.
"Perusahaan perkebunan ini menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat," ujarnya.
Perang Sunggal
Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing menuai konflik berdarah.
Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij.
Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan.
Ketika Jepang menjadi penguasa di tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka, negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumut, lanjut Yamin, setelah terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan swasta asing oleh masyarakat.
Masyarakat mengenal kartu registrasi penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat.
Hanya saja, kata Yamin, surat tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya. Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun sertifikat hak guna pakai.
"Namun, yang terjadi sebelum ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat," katanya.
Mestinya, ujar Yamin, tanah yang menjadi milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan.
"Di dalam kehidupan yang sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka, seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak," kata Yamin.
Rakyat vs perkebunan
Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN).
Masyarakat Deli yang dulunya diberi hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka.
Rakyat kemudian menuntut haknya. Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II.
Konflik pun meluas, tak lagi antara masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang.
Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut.
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima.
Kedua perusahaan itu menjanjikan lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka perkebunan kelapa sawit di hutan register 4.
Namun, janji kedua perusahaan tidak dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan di Kepolisian Daerah Sumut.
Kasus lain adalah sengketa tanah Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar.
Yang mereka garap adalah rawa-rawa yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. "Mereka yang mencoba menuntut kembali haknya dicap komunis," ujar Mangaliat.
Penguasaan hutan
Jenis sengketa tanah lain yang juga terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun.
"Sebanyak 56 petani ditangkap polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi warga.
"Pengelolaan hutan bisa sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu, daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti sawit dan karet," kata Hardi