Senin, 14 November 2011

PT NAGALI JAYA

MedanBisnis – Aek Kanopan. PT Nagali Jaya yang berlokasi di Desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), tanpa izin dan belum mengantongi hak guna usaha (HGU), telah menguasai kawasan hutan (hutan register 4/KL) seluas lebih kurang 1.000 hektare.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Kesejahteraan Masyarakat Sumut (LKKM-SU), Daniel Marbun yang juga pengurus Konsorsium Peduli Hutan dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara (KPHLH-SU). KPHLH-SU di dalamnya tergabung beberapa organisasi di antaranya LKKM-SU) dan Sentra Wahana Advokasi Kebijakan Indonesia (SWAKA – Indonesia).

“Sesuai data yang kami himpun, bahwa PT Nagali Jaya itu telah membuka usaha perkebunan kelapa sawit tanpa ada izin, HGU dan IUP (Ijin Usaha Perkebunan) dari instansi yang berwewenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan itu telah melanggar UU No 18/2004 tentang Perkebunan jo Peraturan Pemerintah (PP) No 40/1996 dan Permentan No 26/2007 serta UU No 41/1999 tentang Kehutanan,” kata Daniel Marbun kepada MedanBisnis, baru-baru ini di Aek Kanopan.

Daniel mengatakan melalui KPHLH-SU pihaknya juga telah menyurati pihak terkait di antaranya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labura, Badan Pertanahan Nasional (BPN), pihak Kehutanan baik kabupaten, provinsi maupun pusat termasuk perusahaan sendiri. Pihaknya menyurati berbagai pihak karena perusahaan tersebut dinilai telah melanggar peraturan yang berlaku dan merusak ekologi, merugikan masyarakat banyak terlebih masyarakat di sekitar perkebunan tersebut.

“Masih banyak masyarakat terutama petani di Labura yang tidak memiliki tanah. Sedangkan pemerintah membiarkan pengusaha menguasai lahan dengan sewenang-wenang tanpa ada izinnya dan bahkan pajak perusahaan itupun tentunya dipertanyakan apakah ada atau tidak, berhubung karena memang izinnya juga tidak jelas.

Padahal pemerintah seharusnya bisa mengalokasikan tanah tersebut kepada petani dengan mensinergikan program kehutanan agar tetap terjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup,” jelas Daniel.

Namun sangat disayangkan, wartawan yang berusaha menemui menejer PT Nagali Jaya, Pargaulan Sitorus ke kantor perusahaan itu, Jumat (5/8) yang beralamat di Desa Sonomartani, sedang tidak ada ditempat. Saat dihubungi lewat telephone genggam dan pesan singkat (sms) Pargaulan Sitorus mengaku tidak bisa bertemu karena sibuk dan tidak bersedia dikonfirmasi terkait status lahan perusahaan itu. “Ndak bisa pak” smsnya berselang Pargaulan Sitorus mengakhiri pembicaraan dengan wartawan lewat telepon genggam.

Tetapi menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Labura, melalui Kabid Perkebunan, Ponirin, beberapa bulan lalu pernah mengatakan bahwa PT Nagali Jaya tersebut memang tidak memiliki HGU layaknya seperti perusahaan perkebunan lainnya yang telah mematuhi peraturan yang berlaku. (ricardo simanjuntak)



 100 Ha Lahan Warga Transmigran Dikuasai PT.Nagali

Jumat, 23 September 2011 | 15:50:46
Labura-Warga transmigrasi yang tinggal di desa Sonomartani, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara ( Labura) mengaku bahwa sebahagian lahan yang seharusnya diperuntukkan kepada 700 KK ( kepala Keluarga) warga transmigrasi dari pulau jawa beserta untuk anak cucunya, sebahagian telah dikuasai oleh PT.Nagali

Menurut salah seorang Warga Transmigran Jamalik ( …) yang merupakan warga
transmigrasi dari Wonosobo, Jawa tengah, kepada wartawan di rumahnya Sabtu
(17/9), di Desa Sonomartani, mengatakan, bahwa ada sekitar 1100 (seribu
seratus) hektar lebih lahan transmigran yang telah dikuasai oleh PT. Nagali
hingga sekarang.

Diceritakannya, para warga trans yang sekarang berada di Desa Sonomartani
tersebut didatangkan dari Pulau Jawa diantaranya dari Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Jawa Barat, lewat program Departemen Transmigasi Indonesia pada
tahun 1973. Dimana masuknya warga trans untuk gelombang besar pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1973 dengan kode proyekyaitu 7374, sebanyak 200 orang. Mereka dikirim dengan 2 tahap yaitu 100 orang pertahap / bulannya. Kemudian gelombang besar kedua dengan tahunanggaran atau kode proyek 7475 sebanyak 500 kk dengan pengiriman 5 tahap. Dan bahkan Jamalik sendiri mengaku sebagai ketua rombongan dan bahkan pernah mendapat pelatihan dari pemerintah saai itu terkait pengembangan pertanian.

Lanjutnya, pemerintah khususnya departemen transmigrasi awalnya memberikan
“angin sorga “ kepada warga bahwa tempat yang mereka tuju sangat bagus,
lahannya subur, sawah sudah dicetak lengkap dengan irigasi, kemudian
perumahan yang cukup bagus untuk dihuni lengkap dengan fasilitas sekolah
rumah, ibadah lapangan dan sebaginya. Sehingga dengan kampanye bohong ini
warga sangat tertarik dan mereka juga diiming imingi jumlah tanah yang luas
lengkap dengan sertifikat.

Diceritakannya, Setelah sampai dilokasi sesuai yang telah dijanjikan
pemerintah sebelumnya,ternyata kondisinya masih hutan dengan tumbangan kayu
yang tidak beres, dan apa yang dijanjikan sewaktu belum datang ternyata
tidak benar. Dan bahkan pertama kali sampai dilokasi belum bisa langsung
menanam tanaman untuk kebutuhan pokok.

Dan untuk itu kami menuntut kepada pemerintah agar diberi jadup ( jaminan
hidup) karena belum bisa menanam dan bahkan juga masih ikut sibuk memboloh
rumah, dan dengan terpaksa mengupah lah sama PT dan pemborong supaya ada
untuk dimakan. Dan menanam pertama dilakukan dengan system kolektif. Namun
karena belum panen, terpaksa kami menuntut perpanjangan jadup selama
setengah tahun, itupun tinggal hanya dikasih beras dan ikan asin” cerita
Jamalik sembari menambahkan, bahwa lahan transmigrasi tersebut juga pernah
ditinjau langsung oleh mantan menteri penerangan, Harmoko pada tahun 1985.*

Mantan tamatan PGSLP ( pendidikan guru sekolah lanjutan pertama) yang
sekarang mengajar di SMP Sonomartani ini juga menjelaskan, bahwa lahan yang
seharusnya milik warga transmigran tersebut dikuasai PT. Nagali pada tahun
sekitar 1986 yaitu pada masa kepala desa Sonomartani pertama, yaitu Untung.
Dimana lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh PT. Rimba Agung untuk
mengambil kayu. Dan sekitar tahun 1986 PT. Nagali menguasai lahan tersebut
sekitar 1.100 hektar yang selanjutnya menanaminya dengan tanaman kelapa
sawit sejak sekitar tahun 1989.

Demikian juga disampaikan Muhammad Arofa ( 41 ) yang merupakan ketua Kopmas (kelompok masyarakat) peduli warga transmigrasi, dirinya mengaku ikut bersama orang tuanya saat pertama kali datang. Menurut sepengetahuannya, total lahan yang direncanakan untuk dialokasikan kepada warga transmigran termasuk lahan cadangannya seluas 11.000 (sebelas Ribu) hektar, yang terdiri dari rincian, 400 hektar untuk hutan suaka dan 300 hektar untuk transmigrasi local ( transmigrasi GKPI) dan sekitar 10.000 hektar lebih untuk dikelola warga transmigrasi yang datang dari pulau Jawa termasuk cadangannya untuk anak cucunya.

Lahan yang di HPL ( hak pelepasan lahan) pertama kali pada tahun 1978
seluas 1400 hektar untuk 700 KK dengan masing-masing 2 hektar per KK.
Setelah lahan tersebut di kelola, selanjutnya dikeluarkan lagi HPL untuk
lahan cadangan, sehingga total yang di HPL kan menjadi 4600 hektar”.

Namun, menurut Muhammad Arofa sekitar pada tahun 1986 PT. Nagali mengambil lahan tersebut lebih kurang 1.100 hektar termasuk lahan yang sudah di HPL
kan tersebut dan lahan cadangan. Dan yang seharusnya untuk lahan cadangan
lainnya juga ikut dikuasai oleh PT. Abak dan beberapa pengusaha perseorangan lainnya.

Dan sebagai respon dari warga, melalui Kopmas peduli warga Transmigrasi
yang terbentuk sejak tahun 2002 dan beranggotakan lebih kurang 639 KK sudah
pernah memohon kepada pemerintah setempat maupun pihak yang bersangkutan,
diantaranya Bupati Labuhanbatu dan Bupati Labura, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Labura, Badan Pertanahan Nasional Labuhanbatu dan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, dengan menyurati serta menembuskan surat tersebut
ke pihak yang bersangkutan lainnya dari tingkat Provinsi Sumut hingga
pemerintah pusat agar dapat menyelesaikan masalah ini. “Anak cucukan semakin lama semakin besar dan tentunya membutuhkan tanah” jelasnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kesejahteraan Masayarakat ( LKKM), Daniel
Marbun, SH mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan terjadinya pengelolaan
lahan tersebut yang tidak tepat sasaran. PT. Nagali yang sepengetahuannya
tidak memiliki Izin Hak Guna Usaha ( HGU) tersebut tentu sudah melanggar
peraturan terlebih telah menguasai lahan Transmigrasi.

Dan menurutnya, seharusnya pemerintah cepat tanggap. Dan tanah tersebut
sepatutnya segera dikembalikan kepada warga dan sekaligus merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani
lewat pemeberian lahan kepada para petani.

Manager PT. Nagali, Pargaulan Sitorus saat dikonfirmasi, Rabu (21/9)
mengakui bahwa lahan yang dikuasai perusahaan tersebut sejak tahun 1991 lalu seluas 1000 hektar lebih merupakan lahan transmigrasi yang sudah di HPL kan sebelumnya.

Terkait masalah kepemilikan izinnya, pargaulan juga mengakui bahwa PT.
Nagali tersebut tidak memiliki HGU, dan sebelumnya hanya memiliki izin
prinsip. “ memang lahan PT. Nagali itu merupakan lahan transmigran yang
dikuasai sejak tahun 1991. Dan izin yang dimiliki sebelumnya hanya izin
prinsip, sedangkan HGU belum ada “ ujar Pargaulan.

Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Labura
Drs. B. Simorangkir, MPd saat ditemui di ruang kerjanya mengatakan
membenarkan bahwa pihak transmigran tersebut sudah pernah menyurati pihak.
Namun pihaknya menyarankan warga trans tersebut agar menindaklanjuti ke
Dinas Transmigran Provsu. Dirinya juga mengakui, sampai saat ini pihaknya
tidak memiliki data terkait lahan transmigran tersebut.

Dijelaskannya, bahwa peran serta dari pihak Dinas Sosial, Tenaga kerja dan
Transmigrasi dalam penyelesaian kasus ini tidak ada lagi. Sesuai dengan
tugas dan fungsi, dalam program transmigran pihaknya hanya bertugas untuk
melakukan mulai dari perencanaan, penempatan hingga ke pembninaan selama
lebih kurang lima tahun atau sampai warga trans tersebut bisa mandiri. Namun setelah terbentuk menjadi satu desa defenitif seperti desa Sonomartani tersebut, maka yang menangani masalah mereka itu langsung ditangani Pemda sesuai tata pemerintahan.

Sesuai dengan tugas, kami hanya melakukan mulai perencanaan, penempatan
hingga pembinaan. Namun setelah mandiri dan menjadi satu desa defenitif
sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab Pemda sesuai tata pemerintahan”
jelasnya. ( Renz )

1 komentar:

  1. saya boleh konfirmasi, indra mingka
    anak asahan, tinggal di jakarta.
    085319165853

    BalasHapus